Gangguan Perkembangan Sosial dan Emosional Anak Usia Dini

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seorang anak hidup paling aktif di dalam masa perkembangannya. Kepribadian sedang dalam pembentukan dan di dalam stadium perkembangan banyak sekali terjadi perubahan atau modifikasi tingkah laku. Sebab itu kita perlu mengetahui ciri tingkah laku normal pada setiap stadium perkembangan anak dan membedakan setiap tingkah laku anak. Semua anak memiliki berbagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk memastikan perkembangan akan berlangsung baik. Anak-anak memang sangat tabah dan teguh. Dalam kebanyakan kasus, dibutuhkan tekanan atau pengorbanan ekstrem agar memberikan pemecahan yang signifikan dan berdampak lama. Namun, jika anak tidak diberikan kebutuhan dasar dalam kadar yang cukup, akibatnya mungkin terjadi kelambatan dalam perkembangan.
Seperti dalam hal penggunaan pendekatan perkembangan untuk melihat kelainan yang diderita oleh anak sebenarnya berlandaskan empat tema dasar atau prinsip, yaitu pertama kelainan muncul atau terjadi hanya pada individu yang mengalami perkembangan, prinsip yang kedua kelainan perkembangan atau psikapatologi harus dipandang dalam kaitannya dengan perkembangan yang normal, tugas-tugas perkembangan utama dan perubahan-perubahan yang muncul sepanjang rentang kehidupan, selanjutnya prinsip yang ketiga yaitu tanda-tanda awal dari perilaku berkelainan harus dipelajarisecara serius, dan yang terakhir prinsip yang keempat bahwa ada beragam patokan atau karakteristik perkembangan baik yang normal maupun berkelainan .
Dalam kenyataan sehari-hari yang kita hadapi, tidak semua anak mengalami perkembangan yang normal sesuai dengan usia dan rata-rata anak sebayanya. Ada anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus karena ia memiliki kebutuhan khusus dalam aspek perkembangan. Pada masa lalu anak yang mengalami gangguan dianggap mengganggu dan mendapatkan pendidikan tidak selayak anak yang normal. Bahkan ada anggapan bahwa anak-anak seperti itu tidak dapat dididik sehingga tidak perlu mendapatkan pendidikan. Sementara anak-anak yang normal, namun mengalami masalah pada satu atau beberapa aspek perkembangannya, dirasakan menjadi masalah bagi kelancaran pendidikan dan teman-teman sekelasnya.
Anak yang mengalami gangguan adalah anak yang memiliki kemampuan yang berada di luar rentang kemampuan anak sebayanya. Sehingga guru dan orang tua perlu mengintervensi atau menangani anak yang mengalami gangguan. Dalam pembahasan ini kelompok kami akan membahas tentang gangguan sosial emosi anak usia dini. Kita ketahui bahwa gangguan sosial emosi dapat terjadi pada setiap individu dari semua usia. Keadaan tersebut biasanya ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Kebanyakan masalah sosial emosional dianggap sebagai hasil faktor lingkungan, seperti penyiksaan terhadap anak, pengasuhan yang tidak konsisten, kondisi hidup yang penuh tekanan, lingkungan yang penuh dengan kekerasan,atau penggunaan alcohol dan kekerasan fisik yang terjadi dalam keluarga. Pada saat yang bersamaan, penyebab bilogis,seperti faktor keturunan, ketidakseimbangan zat-zat kimia dalam tubuh, kerusakan jaringan otak, dan penyakit yang diderita, juga berperan dalam masalah sosial emosi anak.
Perkembangan sosial dan emosi anak memainkan peranan penting dalam hidup seseorang. Tiap bentuk emosi pada dasarnya membuat hidup terasa lebih menyenangkan. Karena dengan emosi dan hubungan sosial anak akan merasakan getaran-getaran perasaan dalam dirinya maupun orang lain. Bulan-bulan serta tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan masa yang penting dan rawan dalam perkembangan sosial emosi anak. Bila orang tua kurang menyadari pentingnya arti kualitas hubungan serta sikap penuh kasih saying pada masa ini, maka anak bisa mengalami berbagai masalah dan gangguan sosial emosional yang serius dikemudian hari. Tapi sebaliknya bila kebutuhan sosial emosinya terpenuhi secara seimbang dalam awal kehidupan, dikemudian hari ia pun akan berkembang menjadi individu yang bahagia dan diharapkan mampu mewujudkan potensi-potensinya secara optimal.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalahnya yaitu sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Gangguan Perkembangan sosial emosional anak usia dini?
2. Apa saja jenis-jenis gangguan perkembangan sosial emosi anak usia dini?
3. Apa saja yang menjadi faktor-faktor perkembangan sosial emosi anak usia dini?
4. Bagaimana upaya preventif dan intervensi gangguan perkembangan sosial emosi anak usia dini?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penulisannya adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian dari gangguan sosial emosi anak usia dini
2. Untuk mengetahui jenis-jenis dari gangguan sosial emosi anak usia dini
3. Untuk mengetahui faktor-faktor dari gangguan perkembangan sosial emosi anak usia dini
4. Untuk mengetahui upaya preventif dan intervensi dari gangguan sosial emosi anak usia dini

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Gangguan Perkembangan Sosial dan Emosional Anak Usia Dini
Gangguan sosial, emosional, dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu yang fokus di dalam diri anak. Suatu harapan dan cita-cita dari para orang tua, guru, maupun masyarakat pada umumnya untuk memiliki anak-anak yang sehat jasmani dan rohani. Betapa tenang dan tentramnya hati bila melihat anak-anak bermain dengan riang gembira, pandai,tekun dalam belajar dan bekerja, bebas dan lincah dalam mengutarakan buah pikiran dan kreativitasnya.
Harapan ini tentu menyangkut pertumbuhan dan perkembangan yang paling optimal dari segi fisik, emosi, mental dan sosial setiap anak. Tetapi suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah danya sejumlah anak yang memperlihatkan perilaku sumbang, bertingkah laku yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku, baik norma budaya, norma umur,norma kecakapan/keterampilan maupun norma sosial yang berlaku dalam lingkungan di mana anak berada. Tingkah laku mereka mengalami gangguan dan kelainan, yang biasanya lebih dirasakan oleh lingkungan daripada oleh anak sendiri .
Perkembangan emosi memainkan peran yang sedemikian penting dalam kehidupan, maka penting diketahui bagaimana perkembangan dan pengaruh emosi terhadap penyesuaian pribadi dan sosial. Sukar mempelajari emosi anak-anak karena informasi tentang aspek emosi yang subyektif hanya dapat diperoleh dengan cara introspeksi sedangkan anak-anak tidak dapat menggunakan cara tersebut dengan baik karena mereka masih berusia sedemikian muda. Bahkan sulit mempelajari reaksi emosi melalui pengamatan terhadap ekspresi yang jelas tampak, terutama ekspresi wajah dan tindakan yang berkaitan dengan emosi,karena anak-anak suka menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial . Untuk mengetahuai apa itu gangguan perkembangan sosial emosional anak yang perlu kita ketahui terlebih dahulu yaitu pengertian gangguan. Gangguan adalah suatu kondisi yang menyebabkan ketidaknormalan pada individu yang memiliki masalah dalam menguasai keterampilan dan menunjukan kekurangan dalam berhubungan dengan orang lain . Selanjutnya perkembangan sosial emosi anak usia dini yaitu perkembangan yang berkaitan dengan emosi,kepribadian, dan hubungan interpersonal. Selama tahun kanak-kanak awal, perkembangan sosial emosi berkisar tentang sosialisas, yaitu proses ketika anak mempelajari nilai-nilai dan perilaku yang diterima dari masyarakat . Pada usia tersebut , terdapat tiga tujuan dalam perkembangan sosial emosional anak, yaitu:
1. Mencapai sense of self atau pemahaman diri serta berhubungan dengan orang lain
2. Bertanggung jawab terhadap diri sendiri meliputi kemampuan untuk mengikuti aturan dan rutinitas, menghargai orang lain, dan mengambil inisiatif
3. Menampilkan perilaku sosial , seperti empati, berbagi,dan menunggu giliran.
Gangguan sosial emosi dapat terjadi pada setiap individu dari semua usia. Keadaan tersebut biasanya ditandai dengan cirri-ciri tertentu, khususnya yang berhubungan dengan kondisi emosi. Sepanjang kehidupan, kondisi emosi kita memang tidak tetap, kadang naik atau turun. Tetapi, pada orang-orang tertentu, mereka lebih banyak mengalami kondisi emosi negatif. Kondisi ini akan mempengaruhi kualitas hidup dan kemampuan mereka mengatasi persoalan sehari-hari serta tugas perkembangan yang mereka jalani.
Kebanyakan masalah sosial dan emosi dianggap sebagai hasil faktor lingkungan,seperti penyiksaan terhadap anak, pengasuhan yang tidak konsisten, kondisi hidup yang penuh tekanan, lingkungan yang penuh dengan kekerasan,atau penggunaan alcohol dan kekerasan fisik yang terjadi dalam keluarga. Pada saat yang bersamaan, penyebab biologis, seperti faktor keturunan, ketidakseimbangan zat-zat kimia dalam tubuh, kerusakan jaringan otak, dan penyakit yang diserita juga berperan dalam masalah perkembangan sosial dan emosi ( Cicchetti & Toth dalam Rini Hildayani) .
Menurut Undang-Undang bagi Pendidikan Individu Penyandang cacat (IDEA) bahwa gangguan sosial emosi yaitu ketidak mampuan atau mengatur hubungan interpersonal yang memuaskan dengan teman sebaya dan guru .
Rolf, edelbrock dan Strauss menemukan bahwa anak-anak dengan masalah perkembangan sosial emosi cenderung memiliki hambatan yang besar dalam pertemanan, penyesuaian sosial, tingkah laku dan dan akademis apabila dibandingkan dengan kelompok anak yang normal. Anak-anak dengan gangguan ini dianggap beresiko terhadap sifat tersisih secara sosial, terisolasi penarikan diri, pemalu dan kesepian .
Dari penjelasan mengenai gangguan, perkembangan sosial emosi secara umum maka disintesiskan gangguan perkembangan sosial emosi anak usia dini yaitu ketidaknormalan yang menghambat perkembangan anak usia dini kaitannya dalam mengelola emosi, kepribadian, dan hubungan interpersonal anak dengan orang lain.
Emosi merupakan sesuatu yang muncul setiap hari, bahkan setiap saat dalam kehidupan kita. Emosi merupakan suatu pola yang kompleks dari perubahan yang terdiri dari reaksi fisiologis, perasaan-perasaan yang subyektif, proses kognitif, dan reaksi perilaku, yang semuanya itu merupakan respon atas situasi yang kita terima (Duffy, 2002) Kita mengenal beberapa emosi dasar, yaitu kegembiraan, kesedihan, ketakutan, kemarahan. . Selain itu kita juga mengenal adanya emosi positif, seperti kegembiraan, dan emosi negatif, seperti kemarahan dan kesedihan. Kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada pada bayi yang baru lahir. Gejala pertama perilaku emosional ialah keterangsangan umum terhadap stimulasi yang kuat.
a. Pola emosi Positif
Pola emosi positif adalah yang berasal dari suatu kondisi yang menguntungkan Frederickson, Mayne dan Bonnano mencatat bahwa banyak emosi positif dengan mudah diidentifikasi dalam kecenderungan aksi. Emosi positif secara sederhana diidentifikasi sebagai sesuatu yang baik atau diiginkan. Emosi positif terdiri dari perhatian atau minat, surprise atau kekaguman, dan kegembiraan .
b. Pola emosi Negatif
Sedangkan pola emosi negatif menurut Lazarus (1991) berasal dari hubungan yang mengancam atau kondisi yang menyakitkan. Reaksi emosi negative terdiri dari marah, kecemasan, rasa malu, kesedihan, cemburu, merasa takut, dan cemburu .

B. Jenis-jenis Gangguan Perkembangan Sosial dan Emosional Anak Usia Dini
Terdapat banyak jenis gangguan perkembangan sosial dan emosional pada anak usia dini, bahkan setiap anak yang memiliki gangguan pada aspek perkembangan fisik-motorik, perkembangan kognitif, perkembangan bahasa, dan perkembangan moral pun juga selalu memiliki gangguan pada sosial dan emosional masing-masing. Misalnya anak yang memiliki gangguan pada fisiknya berupa cacat fisik (tuna daksa) baik dari lahir maupun ketika sudah bertumbuh besar, dia memiliki ketidaknormalan pada perkembangan sosial dengan orang lain dan emosional mereka. Mereka merasakan bahwa dia berbeda dari teman kebanyakan membutuhkan kemampuan penerimaann yang baik dan keiklhasan yang lebih. Tentunya hal ini membutuhkan bantuan orang lain terutama orang dewasa terdekatnya, yakni orang tua. Namun, apabila orang tua pun tidak memiliki kemampuan mengelola emosi dengan baik sehingga orang tua pun tidak mampu menerima kondisi anak tersebut, maka hal ini akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial dan emosional anaknya. Demikian pula pada anak-anak yang memiliki gangguan-gangguan lain sehingga mereka dikatakan children with special needs seperti tuna grahita, tuna rungu, learning dissability, dan sebagainya masing-masing mereka memiliki kondisi perkembangan sosial dan emosional yang tidak selalu seperti anak lain yang tanpa gangguan pada perkembangannya.
Gangguan-gangguan perkembangan sosial dan emosi yang muncul seringkali berangkat dari pola-pola emosi yang dikenal baik itu emosi positif maupun emosi negatif. Seperti misalnya emosi negatif berupa marah atau menangis, anak perlu dikenalkan dengan ekspresi marah dan menangis namun ketika emosi tersebut diungkapkan dalam suatu perilaku yang muncul secara berlebihan sehingga menjadi tantrum misalnya, maka hal ini dikatakan sebagai suatu gangguan. Demikian pula pada emosi positif seperti optimis dan percaya diri. Ketika emosi optimis dan percaya diri tersebut muncul secara berlebih maka dapat mengarah pada perilaku yang cenderung abisius, sombong, pada akhirnya dapat mendorong seorang anak untuk melakukan segala cara sekalipun cara tersebut dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal itu disebut sebagai sesuatu yang mengalami gangguan dan perkembangan emosional, dan ketika perilaku emosi yang muncul itu melibatkan interaksi sosial mereka dengan orang lain, maka hal tersebut dapat dikatakan menjadi gangguan sosial.
Hasil survey yang dilakukan oleh Izzaty dalam Mashar di Taman Kanak-kanak ditemukan adanya beberapa permasalahan emosi atau gangguan emosi yang umumnya sering terjadi pada anak usia Taman Kanak-kanak yaitu agresvitas, kecemasan, temper tantrum, menarik diri (withdrawal), enuresis dan encopresis, berbohong, menangis berlebihan, kebergantungan, pemalu, dan takut berlebihan. Hasil survey ini dipertegas dengan hasil penelitian mengenai masalah-masalah perilaku pada anak usia dini. Masalah yang paling banyak muncul terdapat pada area conduct/restless yang salah satunya adalah perilaku agresif, kemudian disusul dengan permasalahan pada area emotional/miserable, dan terakhir permaslaahn yang termasuk area isolated/immature.
Mashar membatasi jenis gangguan tersebut pada ranah gangguan emosi yang sering muncul dan ditambahkan dari buku Nugraha dan Rachmawati serta Plutchik yang keseluruhannya disebutkan ke dalam jenis gangguan emosi antara lain: agresivitas, kecemasan, temper tantrum, menarik diri, takut berlebihan, kekurangan afeksi, dan hipersensitivitas.
Jefery S. Nevid, dkk menyebutkan beberapa gangguan kecemasan (anxciety) yang menjadi bagian dari gangguan perkembangan emosional memiliki beberapa penggolongan, antara lain: gangguan panik, gangguan kecemasan menyeluruh, gangguan fobia (ketakuran berlebih), gangguan obsesif-impulsif, gangguan stress akut dan gangguan stress pascatrauma. Di samping itu juga gangguan emosi selain kecemasan menurut Nevid juga ada gangguan mood dan bunuh diri, dengan tipe-tipe gangguan mood yang berupa gangguan depresi (unipolar) berupa gangguan depresi mayor dan gangguan distimik, gangguan perubahan mood (bipolar) yang berupa bipolar dan gangguan siklotimik. Namun secara terbatas, dalam makalah ini akan dibahas berkaitan dengan kecemasan yang sering dan mungkin terjadi pada anak usia dini.
Hewar & Orlansky seperti yang dikutip oleh Jamaris megatakan bahwa Quay mengumpulkan sejumlah besar data yang berkaitan dengan kelaian perilaku yang ditunjukkan anak, dan penilaian guru dan orangtua terhadap perilaku tersebut melalui angket yang disebarkan pada anak. Berdasarkan hasil analisis data yang dikumpulkan, mereka menemukan bahwa kelainan perilaku cenderung dilakukan anak secara berkelompok dalam kelompok kecil. Pada akhirnya Quay dan kawan-kawannya mengklasifikasikan kelainan perilaku ke dalam empat kelompok, yakni: conduct behavior, personality disorder, immaturity, dan sosialized deliquency.
Conduct behavior merupakan kelainan perilaku yang meliputi menentang, merusak, memicu perkelahian, angkuh, pemarah, dan tantrum. Personality disorder meliputi perilaku suka menyendiri, cemas, depresi, rendah diri, merasa bersalah, pemalu, dan tidak bahagia. Immaturity ditandai dengan perilaku yang tidak dapat memusatkan perhatian dalam waktu yang relatif lama, sangat pasif, pengkgayal, lebih menyukai bermain dengan anak yang lebih muda usianya, kaku atau aneh. Sedangkan sosialized deliquency menunjukkan perilaku suka bolos sekolah, anggota gang, pencuri dan merasa bangga terhadap kelompok lain.
Gangguan emosional yang paling lazim didiagnosis dalam masa kanak-kanak adalah gangguan perilaku distruptif [menunjukkan agresi, penyimpangan, atau perilaku antisosial (distruptif behavior disorder)] dan gangguan kecemasan atau mood (perasaan sedih, tidak dicintai, gugup, takut, atau kesepian). Beberapa masalah terlihat berhubungan dengan fase tertentu dari kehidupan anak dan menghilang dengan sendirinya, tetapi yang lain perlu dirawat untuk mencegah masalah di masa yang akan datang (Achenbacg & Howell; USDHHS).
Meskipun gangguan sosial dan emosional yang kemudian berkembang menjadi istilah emotional and behavior disorders ini memiliki makna yang sangat luas secara definitif, akan tetapi penulis mencoba membatasi dan mengklasifikasikan jenis-jenis gangguan sosial dan emosional yang dapat dan seringkali terjadi pada anak usia dini antara lain sebagai berikut:
1. Tunalaras
Anak yang mengalami gangguan tingkah laku lebih dikenal dengan istilah tunalaras. Samapi saat ini memang belum ada definisi yang dapat diterima secara umum mengenai anak tunalaras yang dapat memuaskan smua pihak. Pada kenyataannya, batasan atau definisi yang dikemukakan oleh para profesional dan para ahli yang berkaitan dengan masalah ini berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang disiplin ilmu masing-masing untuk keperluan profesionalnya. Meskipun demikian, dari seluruh definisi yang dikemukakan oleh para ahli, semua menganggap sama bahwa tunalaras menampakkan suatu perilaku penentangan yang terus-menerus kepada masyarakat, kehancuran suatu pribadi, serta kegagalan dalam belajar di sekolah.
Anak tunalaras sering juga disebut anak tunasosial karena tingkah laku anak ini menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu, dan menyakiti orang lain. Dengan kata lain menyusahkan lingkungan. Akan tetapi, ada juga anak yang tidak mengganggu sama sekali atau sama sekali tidak merugikan orang lain seperti menyendiri, memiliki kebiasaan menyimpang, merusak diri sendiri, dan berpakaian aneh dipertanyakan apakah termasuk katergori antisosial atau tidak. Pertanyaan tersebut menimbulkan anggapan lain, di mana letak kesalahan dianggap terdapat pada aspek perasaan sehingga tunasosial dinyatakan juga sebagai gangguan emsosi.
Istilah gangguan emosi yang dipakai untuk menyebut mereka yang tunasosial masih sering juga dipersoalkan. Sehingga kemudian muncul pertanyaan apakah setiap perilaku antisosial selalu mengandung gangguan emosi atau apakah semua perilaku antisosial selalu merupakan manifestasi dari gangguan emosi? Dari hal itu timbul gagasan bahwa istilah yang paling tepat adalah gangguan tingkah laku (behavior disorder). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1977 menetapkan batasan anak tunalaras adalah anak yang berumur 6 – 17 tahun dengan karakteristik bahwa anak tersebut mengalami gangguan emosi dan berkelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sehingga dapat dipahami bahwa anak usia dini baru dapat dikatakan mengalami gangguan ketunalarasan adalah ketika mereka memasuki usia 6 – 8 tahun.
Sedangkan Kauffman dikutip oleh Sutjihati Somantri mengemukakan batasan mengenai anak-anak yang mengalami gangguan perilaku “sebagai anak yang secara nyata dan menahun merespon lingkungan tanpa ada kepuasan pribadi namun masih dapat diajarkan perilaku-perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat dan dapat memuaskan pribadinya”
Berdasarkan berbagai definisi yang telah dikemukakan, maka Sutjiani Somantri mendefinisikan tunalaras sebagai anak yang mengalami hambatan emosi dan tingkah laku sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya dan hal ini mengganggu situasi belajarnya .
Dilihat dari definisinya, maka yang termasuk dalam tunalaras adalah bentuk agresivitas, mencuri, berbohong, melanggar norma. Sedangkan menurut Sutjiahati Somantri, untuk memudahkan pelayanan dan pengorganisasian pendidikan anak tunalaras, maka perlu diadakan klasifikasi. S.A. Bratanata mengemukakan bahwa “anak tunalaras dicirikan oleh seberapa jauh anak itu terlihat dalam tindakan kenakalan, tingkat kelaianan emosinya, dan status sosialnya”
Secara garis besar, anak tunalaras dapat diklasifikasikan sebagai anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dan yang mengalami gangguan emosi. Tiap jenis anak tersebut dapat dibagi lagi sesuai dengan berat dan ringannya kelainan yang dialaminya.
Sehubungan dengan itu, Willian M. Cruickshank mengemukakan bahwa mereka yang mengalami hambatan sosial dapat diklasifikasikan ke dalam kategori berikut ini:
a. The semi-sosialize child
Anak yang termasuk kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial tetapi terbatas pada lingkungan tertentu, misalnya: keluarga dan kelompoknya. Keadaan ini terjadi pada anak yang datang dari lingkungan yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Di lingkungan sekolah, karena perilaku mereka sudah diarahkan oleh kelompoknya, maka seringkali menunjukkan perilaku memberontak karena tidak mau terikat oleh peraturan di luar kelompoknya. Dengan demikian anak selalu merasakan ada suatu masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya.
b. Children arrested at a primitive level or sosialization
Anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan ke arah sikap sosial dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya perhatian dari orang tua, yang berakibat pada perilaku anak kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih dapat memberikan respon pada perlakuan yang ramah.
c. Children with minimun sosialization capacity
Anak pada kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Ini disebabkan oleh pembawaan atau kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini banyak yang bersikap apatis dan egois.

Demikian pula dengan anak yang mengalami gangguan emosi, mereka dapat diklasifikasikan menurut berat atau ringannya masalah atau gangguan yang dialaminya. Anak-anak ini mengalami kesulitan dalam menyesuaikan tingkah laku dengan lingkungan sosialnya karena ada tekanan-tekanan dari dalam dirinya. Adapun anak yang mengalami gangguan emosi diklasifikasikan sebagi berikut:
a. Neurotic behavior (perilaku neurotik)
Anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain, akan tetapi mempunyai permasalahan pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan mudah sekali dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan marah, semas dan agresif, serta rasa bersalah di samping juga kadang-kadang mereka melakukan tindakan lain seperti yang dilakukan oleh anak unsosialized (mencuri, bermusuhan). Anak pada kelompok ini dapat dibantu dengan terapi seorang konselor. Keadaan neurotik ini biasanya disebabkan oleh keadaan atau sikap keluarga yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belaajr yang berat.

b. Children with psychotic processes
Anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus. Mereka sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Adanya ketidaksadaran ini disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan. Misalnya: minuman keras dan obat-obatan. Oleh karena itulah usaha penanggulannya lebih sult karena anak tidak dapat berkomunikasi, sehingga layanan pendidikan harus disesuaikan dengan kemajuan terapi dan dilakukan pada setiap kesempatan yang memungkinkan.

Sudah jelas bahwa dengan demikian anak pada kelompok neurotik, mengalami gangguan yang sifatnya fungsional, sedangkan pada kelompok psikotis di samping mengalami gangguan fungsional, anak juga mengalami gangguan yang sifatnya organis. Oleh karena itu, anak-anak yang termasuk psikotis kadang-kadang memerlukan perawatan medis.
Salah satu bentuk ketunalarasan adalah agresivitas. Izzaty seperti yang dikutip oleh Mashar memaparkan agresivitas sebagai istilah umum yang dikaitkan dengan adanya perasaan-perasaan marah atau permusuhan atau tindakan melukai orang lain baik dengan tindakan kekerasan secara fisik, verbal, maupun menggunakan ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang mengancam atau merendahkan. Tindakan agresi pada umumnya merupakan tindakan yang disengaja oleh pelaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Ada dua tujuan utama agresi yang saling bertentangan satu dengan yang lain, yakni untuk membela diri di satu pihak dan di pihak lain adalah untuk meraih keunggulan dengan cara membuat lawan tidak berdaya.
Nugraha dan Rachmawati mendefinisikan agresivitas sebagai tingkah laku menyerang baik secara fisik maupun verbal atau baru berupa ancaman yang disebabkan adanya rasa permusuhan dan frustasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa agresivitas merupakan tindakan menyerang baik fisik, verbal, maupun ekspresi wajah yang mengancam atau merendahkan untuk mencapai tujuan tertentu, yang didasari adanya perasaan permusuhan atau frustasi.
Agresivitas pada anak TK memiliki beberapa bentuk umum. Yang paling sering muncul adalah bentuk verbal, misalnya dengan mengeluarkan kata-kata “kotor” yang terkadang anak tidak selalu mengerti maknanya. Kedua, agresi dalam bentuk tindakan fisik. Misalnya dengan menggigit, menendang, mencubit, mencakar, memukul, dan semua tindakan fisik yang bertujuan untuk menyakiti fisik. Biasanya sasaran perilaku agresi ini adalah orang-orang dekat yang ada di sekitar anak, seperti orang tua, pengasuh, pendidik, teman, dan objek fisik lain seperti tembok, lemari, sarana sekolah, atau sasaran lainnya.
Agresivitas pada anak usia dini dapat berdampak psikologis dan sosial. Dampak psikologis yang mungkin muncul berupa kecenderungan untuk meningkatkan perilaku agresi baik dalam frekuensi maupun intensitas jika perilaku tidak ditangani secara efektif. Selain itu, perilaku agresi juga dapat menyebabkan anak cenderung menjadi antisosial karena ketidakmampuannya menahan emosi dan lebih terjebak dalam perilaku-perilaku impulsif. Selain dampak psikologis, dampak sosial bagi perilaku agresi anak juga dapat mengakibatkan anak cenderung dikucilkan dan ditakuti oleh teman-teman sebayanya.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menetapkan tunalaras , yaitu:
1. Psikotes
Psikotes dilakukan untuk mengetahui kematangan sosial dan gangguan emosi. Sedangkan alat tes yang lain yaitu tes proyektif yang memiliki beberapa jenis tes yaitu :

a. Tes Rorchach
Tes ini memberikan gambaran mengenai keseluruhan kepribadian, kelainan dan perlunya psikoterapi. Gambaran ini ditafsirkan dari reaksi anak terhadap gambar-gambar yang terbuat dari tetesan tinta.
b. Thematic Apperception Test (TAT)
Tes ini memperlihatkan berbagai situasi-emosi dalam bentuk gambar-gambar. Gambaran kepribadian nampak dari tafsiran anak mengenai situasi emosi tersebut untuk itu disediakan skala khusus.
c. Tes Gambar Orang
Dalam tes ini persoalan-persoalan emosi nampak dari gambar yang harus dibuat oleh anak. Gambarnya ialah seorang laki-laki dan seorang perempuan.
d. Dispert Fable Tes
Tes ini memberikan gambaran mengenai: iri hati, rasa dosa, rasa cemas, tanggapan terhadap diri sendiri, ketergantungan kepada orang tua, dan sebagainya.

Yang berhak melakukan psikotes dan mengumumkannya adalah psikolog, psikiater, dan counselor, atau orang lain di bawah bimbingannya. Tenaga-tenaga ini ada yang membuka praktek sendiri, ada pula yang tidak membuka praktek sendiri tetapi bekerja di Fakultas Psikologi, Fakultas Kedokteran, Lembaga Kesehatan Jiwa, Balai Bimbingan dan Penyuluhan, Biro Konsultasi Psikologi, dan sebagainya.

2. Sosiometri
Sosiometri adalah alat tes yang digunakan untuk melihat/ mengetahui suka atau tidaknya seseorang. Caranya ialah tanyakan kepada para anggota kelompok siapa diantara anggotanya yang mereka sukai. Setiap anggota hendaknya memilih menurut pilihannya sendiri. Dari jawaban itu akan diketahui siapa yang lain disukai oleh para anggota.
Perlu diperingatkan bahwa hasil-hasil sosiometri adalah hasil sementara yang perlu ditelaah lebih lanjut. Anak yang terpencil dalam suatu saat belum tentu anak yang tunalaras, bahkan mungkin tidak terpencil lagi dalam sosiometri berikutnya. Walaupun demikian, sosiometri dapat dipakai bersama-sama dengan cara yang lain.
3. Membandingkan dengan tingkah laku anak pada umumnya
Keadaan tunalaras dapat diketahui dengan jalan membandingkan tingkah laku anak dengan tingkah laku anak pada umumnya. Pekerjaan membandingkan boleh dilakukan oleh setiap orang dewasa.
Anak yang jahat dapat diketahui jahatnya oleh masyarakat. Demikian juga anak yang tidak jahat tetapi kelakuannya tidak sesuai dengan norma yang berlaku, diketahui oleh masyarakat. Masyarakat mempunyai ketentuan-ketentuan untuk menetapkan jahat dan tidaknya atau serasi dan tidaknya tingkah laku para anggotanya. Siapa yang melanggar ketentuan ini akan dibenci, dimarahi, diasingkan, malah ditindak, tetapi yang baik akan dihargai , diterima kehadirannya malah dipuji.
Adanya gangguan emosi dan gangguan sosial karena penyesuaian yang salah (maladjustment) tanda-tandanya antara lain :
a. Hubungan antar keluarga, teman sepermainan, teman sekolah, ditanggapi dengan tidak menyenangkan.
b. Segan bergaul, terasing.
c. Suka melarikan diri dari tanggung-jawab.
d. Menangis, kecewa, berdusta, menipu, mencuri, menyakiti hati dan sebagainya, atau sebaliknya, sangat ingin dipuji, tak pernah menyulitkan orang lain dan sebagainya.
e. Penakut dan kurang percaya pada diri sendiri.
f. Tidak mempunyai inisiatif dan tanggung jawab, kurang keberanian dan sangat tergantung pada orang lain.
g. Agresif terhadap diri sendiri, curiga, acuh tak acuh, banyak hayal.
h. Memperlihatkan perbuatan gugup misalnya: menggigit kuku, komat-kamit, dan sebagainya.
Anak tunalaras memiliki rasa harga diri kurang dengan tanda-tanda antara lain :
a. Terlalu mempersoalkan kekurangan diri, sering minta maaf, takut tampil di muka umum, takut bicara dan sebagainya.
b. Mengeluh dengan nada nasib malang.
c. Segan melakukan hal-hal yang baru atau yang dapat mengungkapkan kekurangannya.
d. Selalu ingin sempurna, tidak puas dengan apa yang telah diperbuat.
e. Sikap introvert (lebih banyak mengarahkan perhatian kepada diri sendiri).
Adapun rasa harga diri kurang yang tersembunyi, antara lain:
a. Bernada murung, cepat merasa tersinggung.
b. Merasa tidak enak badan, sakit buatan, dan sebagainya.
c. Berpura-pura lebih dari orang lain: menonjolkan diri, bicara lantang, merendahkan orang lain.
d. Membuat kompensasi.
e. Menjalankan perbuatan jahat.
4. Memeriksakan ke Biro Konsultasi Psikolog
Kadang-kadang kita tidak dapat membedakan apakah seorang anak tunalaras atau bukan. Dalam hal demikian kita dapat meminta bantuan Biro Konsultasi Psikolog, karena biro tersebut melibatkan tenaga ahli yang terkait. Wewenang biro ini terutama adalah menentukan apakah seseorang mengalami gangguan emosi social atau tidak.
Setelah selesai ditelaah dan dianalisa biro tersebut akan bersedia memberikan petunjuk terarah mengenai anak tersebut, misalnya meminta agar kita lebih mendekati anak, menitipkannya di salah satu lembaga pendidikan, dan sebagainya. Kalau perlu, biro juga akan membuat keterangan agar dapat dipakai oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
5. Memeriksakan ke Klinik Psikiatri Anak
Bentuk usaha lain untuk mengetahui anak tunalaras adalah dengan memeriksakan ke klinik psikiatri anak. Tugas pokoknya ialah melakukan usaha rehabilitasi dan penyembuhan terhadap mereka yang mengalami kelainan psikis, tetapi juga dapat menetapkan apakah seseorang mempunyai kelainan tunalaras atau tidak.
Dalam surat keterangan yang dikeluarkan oleh klinik psikiatri anak menyebutkan istilah antara lain: anxiety hysteria, conversion hysteria, sexual perversion, obsessional neurosis, psychose anak dll dengan arti istilah-istilah tersebut adalah:
a. Anxiety hysteria: merasa takut pada sesuatu atau pada seseorang tanpa alasan yang dapat diterima. Perasaan ini lahir dari usaha menekan hasrat-hasrat yang sifatnya naluriah.
b. Conversion hysteria: mempunyai gangguan pada fungsi beberapa anggota tubuh, perbuatan gangguan pada pendirian. Gangguan tersebut lahir dari usaha yang lama menekan hasrai-hasrat yang sifatnya naluriah.
c. Obsessional neurosis: cepat menuduh, banyak dalih, menutup diri, kaku berjalan, dan sebagainya. Ini semua adalah pernyataan dari hati yang sangat sensitive dan takut diserang. Hal ini juga timbul dari usaha menoleh sesuatu hasrat.
d. Sexual perversion: suka menikmati sexual secara tidak wajar, seperti mengintip, melakukan hubungan dengan teman sejenis.
e. Character neuroses: perubahan tingkah laku yang lahir dari konflik batin yang tidak mendapat penyelesaian.
f. Psychose Anak: mempunyai kesulitan menyesuaikan diri terhadap segala-galanya

2. Temper Tantrum
Temper tantrum adalah suatu letupan kemarahan anak yang sering terjadi pada anak menunjukkan sikap negativistik atau penolakan. Perilaku ini sering diikuti dengan tingkah seperti menangis dengan keras, berguling-guling di lantai, menjerit, melempar barang, memukul-mukul, menendang, dan berbagai kegiatan.
Perilaku tantrum dikatakan sebagai salah satu perilaku distruptif menurut APA dan National Library of Medicine seperti yang tertulis berikut :
Perilaku tantrum dan membangkang, sering bertengkar, permusuhan, dan perilaku mengganggu yang disengaja – lazim di antara anak-anak usia 4 – 5 tahun – biasanya meningkat pada masa kanak-kanak tengah. Ketika pola perilaku seperti itu bertahan sampai usia 8 tahun, anak-anak (biasanya laki-laki) mungkin didiagnosis gangguan ingkar (oppositional defiant disorder-ODD), sebuah pola pembangkangan, ketidakpatuhan, dan permusuhan terhadap figur otoritas dewasa yang berlangsung selama paling tidak 6 bulan dan jauh di luar batas perilaku anak-anak normal. Awal munculnya gejala biasanya usia 8 tahun. Anak-anak dengan ODD terus menerus bertengkar, berbantahan, mudah kehilangan kesabaran, merebut barang-barang, menyalahkan orang lain, pemarah dan dongkol, memiliki sedikit teman, terus menerus bermasalah di sekolah, dan menguji batas kesabaran orang dewasa.

Temper tantrum sering dialami pada anak usia dini karena ketidakmampuan mereka dalam mengontrol emosi, mengungkapkan kemarahan dengan tepat, dan terjadinya kondisi regresi atau fixasi dalam perkembangan. Menurut Freud, salah satu self defence mechanism yang sering dikembangkan oleh anak adalah dengan berhenti pada tahap perkembangan sebelumnya dengan tidak mau menuntaskan tugas-tugas pada fase perkembangannya. Mereka tidak berani memasuki fase perkembangan berikutnya, karena kecemasan terhadap tuntutan yang lebih pada fase yang lebih tinggi. Contohnya, pada anak TK yang masih menunjukkan perilaku temper tantrum secara terus menerus, atau masih terus minum susu dengan menggunakan dot, atau masih selalu mengompol dan BAB di celana.
Terdapat 3 jenis tantrum yang sering terjadi pada anak usia dini:
a. Manipulative Tantrum
Manipulative tantrum merupakan salah satu bentuk tantrum yang terjadi karena dibuat-buat oleh anak. Biasanya anak melakukan hal ini dengan alasan menggunakan cara tantrum ini sebagai senjata dia untuk mendapatkan apa dia inginkan, atau mencari perhatian.
b. Verbal frustration tantrum
Anak yang mengalami verbal frustration tantrum cenderung menujukkan kemarahan yang berlebih dengan mengomel, banyak bicara sambil menangis dan meraung.
c. Temperramental Tantrum
Perilaku anak yang menunjukkan temperramental tantrum, biasanya tidak cukup diatasi oleh orang tua atau guru saja. Tetapi, membutuhkan bantuan ahli seperti: konselor dan psikolog.

Pemahaman terhadap temper tantrum tidak hanya dapat dilakukan dengan mengamati penyebab munculnya perilaku tersebut, tetapi dapat pula diamati dari gejala-gejala yang tampak. Terdapat beberapa gejala yang dapat muncul pada anak temper tantrum , yaitu:
a. Anak memiliki kebiasaan tidur, makan, dan buang air besar tidak teratur
b. Sulit beradaptasi dengan situasi, makanan dan orang-orang baru
c. Lambat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi
d. Mood atau suasanan hatinya lebih seing negatif. Anak sering merespons sesuatu dengan penolakan
e. Mudah dipengaruhi sehingga timbul perasaan marah atau kesal
f. Perhatiannya sulit dialihkan
g. Memiliki perilaku yang khas, seperti: menangis, menjerit, membentak, menghentak-hentakkan kaki, merengek, mencela, mengenalkan tinju, membanting pintu, memecahkan benda, memaki, mencela diri sendiri, menyerang kakak/adik atau teman, mengancam, dan perilaku-perilaku negatif lainnya.

3. Menarik Diri (Withdrawl)
Withdrawl merupakan salah satu tipe emotional disturbance yang diarahkan ke dalam diri. Berbeda dengan agresivitas yang ekspresi emosinya diarahkan ke luar diri dengan melakukan tindakan-tindakan agresi kepada orang atau benda-benda di luar dirinya, withdrawl merupakan permasalahn emosi yang diarahkan dalam diri dengan kecendurungan menarik diri dari interaksi sosial menurut Hallahan & Kauffman seperti yang dikutip oleh Riana Mashar . Menurut Izzaty, anak yang mengalami withdrawl akan sulit bergaul, cenderung bermain sendiri, tidak dapat bersosialisasi dan berbagi dengan teman sekolahnya.
Anak yang mengalami withdrawl cukup mudah diamati karena menunjukkan gejala-gejala umum, seperti :
a. Tidak mau bersosialisasi atau bergaul selain dengan keluarga
b. Pendiam, rendah diri, malu, takut, tidak banyak bicara, dan bermain sendiri
c. Sering melamun, menyendiri, dan tidak suka keramaian
d. Sibuk dengan kegiatan diri sendiri
e. Menjadi bahan olok-olokan teman sebaya
f. Cenderung tidak suka terlibat dalam kegiatan kelompok

4. Kecemasan (Anxiety)
Anxietas atau kecemasan (anxiety) adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Banyak hal yang harus dicemaskan-misalnya kesehatan kita, relasi sosial, ujian, karier, relasi internasional, dan kondisi lingkungan adalah beberapa hal yang menjadi sumber kekhawatiran. Hal yang normal dan adaptif untuk sedikit merasa cemas mengenai aspek-aspek hidup tersebut. Kecemasan bermanfaat bila hal tersebut mendorong kita untuk melakukan pemeriksaan medis secara reguler atau memotivasi kita untuk belajar menjelang ujian. Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atau bila sepertinya datang tanpa ada penyebabnya yaitu, bila bukan merupakan respon terhadap perubahan lingkungan. Dapat pula dikatakan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan aprehensif bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Di samping itu, Cattel dan Scheier seperti yang dikutip oleh Mashar mengemukakan bahwa kecemasan merupakan reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi tertentu, yang dirasakan sebagai suatu ancaman. Kecemasan atau anxietas dapat pula diartikan sebagai rasa takut pada sesuatu tanpa sebab yang jelas, yang seringkali berlangsung lama. Biasanya rasa takut ini juga disertai oleh kegelisahan dan dugaan-dugaan akan terjadinya hal-hal buruk. Pada anak, rasa cemas biasanya terjadi saat anak berusia tiga tahun, bentuknya dapat berupa rasa cemas kehilangan kasih sayang orang tua, cemas akan mengalami rasa sakit, cemas karena merasa berbeda dengan orang lain, atau mengalami kejadian yang tidak menyenangkan. Pada usia dua sampai enam tahun, pikiran tentang bahaya yang nyata maupun yang ada dalam imajinasinya sendiri seringkali menjadi sumber kecemasan. Pada anak pra sekolah, kecemasan yang banyak dialami adalah kecemasan karena perpisahan (separation anxiety disorders) dengan pengasuh terutama pada saat anak awal masuk sekolah. Gejala-gejala yang dapat diamati saat anak mengalami kecemasan diadaptasi dari Mashar antara lain berupa gelisah, menangis, sulit tidur, mimpi buruk, sulit makan, gangguan pencernaan, kesulitan pernapasan, dan ketidakmauan ditinggal sendiri.
Dari beberapa tipe gangguan kecemasan yang dipaparkan oleh Nevid, salah satu diantaranya yang sering dialami oleh anak usia dini adalah takut berlebihan (fobia). Fobia berasal dari kata Yunani phobos, yang berarti “takut”. Konsep takut dan cemas bertautan erat. Takut adalah perasaan cemas dan agitasi sebagai respon terhadap suatu ancaman. Gangguan fobia adalah rasa takut yang persisten terhadap objek atau situasi dan rasa takut ini tidak sebanding dengan ancamannya. Hal yang aneh tentang fobia adalah biasanya melibatkan ketakutan terhadap peristiwa yang biasa dalam hidup, bukan yang luar biasa. Orang dengan fobia mengalami ketakutan untuk hal-hal yang biasa yang untuk orang lain sudah tidak terpikirkan lagi. Fobia dapat mengganggu bila mereka mempengaruhi tugas sehari-hari sepertu naik bus, dalam gelap, dalam ketinggian, berbelanja, pergi ke luar rumah.
Tipe fobia yang berbeda biasanya muncul pada usia yang berbeda-beda pula, seperti yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tipikal Fobia
Jumlah rata-rata kasus Rata-rata Usia Muncul
Fobia Binatang 50 7
Fobia Suntikan 59 8
Fobia Darah 40 9
Fobia Dental 60 12
Fobia Sosial 80 16
Claustrophobia 40 20
Agorafobia 100 28
Sumber: diadaptasi dari Ost dalam Jeffry S. Nevid, dkk
Usia kemunculan sepertinya merefleksikan tahap perkembangan kognitif dan pengalaman hidup. Ketakutan terhadap binatang seringkali merupakan subjek dari fantasi anak-anak. Sebaliknya, agorafobia biasanya muncul mengikuti serangan panik yang mulai pada masa dewasa. Dan jika diperhatikan, maka anak usia dini lebih sering mengalami fobia tipe fobia binatang dan fobia suntikan.

5. Hipersensitivitas
Hipersensitivitas adalah kepekaan emosional yang berlebihan dan cukup sering dijumpai pada anak-anak. Anak dikatakan hipersensitivitas bila ia mudah sekali merasa sakit hati dan menunjukkan respons yang berlebihan terhadap sikap dan perasaan orang lain. Anak yang hipersenditif ini tidak dapat menerima penilaian, komentar, dan kritik orang lain tanpa rasa sakit hati. Reaksi anak terhadap rasa sakit hati dapat berupa baik yang nyata maupun yang hanya berdasar prasangkanya saja, dapat membangkitkan perasaan kesal yang mendalam. Anak yang hipersensitif biasanya juga mudah marah (temperamental) dan sering mengalami suasana hati yang murung tanpa penyebab yang jelas.

6. Bunuh Diri
Dalam Global Petang tanggal 29 Mei 2006 yang silam diberitakan adanya seorang bocah usia delapan tahun meninggal dengan cara gantung diri di tali jemuran rumahnya setelah dimarahi guru di sekolah, karena belum memotong kuku jari. Ada masih banyak lagi kasus serupa yang mengindikasikan bahwa anak tidak memiliki kesiaptahanan dalam menghadapi persoalan.
Santrock menyatakan bahwa angka bunuh diri berkembang pesat tiga kali lipat dalam 30 tahun terakhir. Laki-laki diperkirakan lebih sering melakukan kecendurungan bunuh diri dari perempuan, hal ini dapat pula disebabkan oleh metode-metode mereka yang lebih aktif dalam mencoba bunuh diri – misalnya dengan menembak. Sebaliknya, perempuan cenderung menggunakan metode-metode pasif seperti pil tidur, yang cenderung kurang mematikan.
Bunuh diri menurut Kristal dalam Mashar dalam beberapa budaya dapat diteruma sebagai sebuah peristiwa heroik atau kepahlawanan. Bunuh diri tidak selalu merupakan tindakan menyakiti atau merusak diri sendiri tetapi merupakan “sebuah tangiasn untuk meminta pertolongan”. Bunuh diri biasanya dikaitkan dengan adanya perasaan depresi dan kehilangan. Sebagian besar korban bunuh diri adalah laki-laki. Bunuh diri pada anak sebenarnya tidak ditujukan untuk mencari kematian, tetapi sebagai manifestasi dari perasaan tidak dipahami dan tidak dihargai.

C. Faktor Penyebab Gangguan Sosial Emosional Anak Usia Dini
Mengenai latar belakang timbulnya gangguan sosio emosional telah banyak dikemukakan oleh para ahli yang berkecimpung dalam usaha penanggulangannya. Dinamika keadaan yang melatarbelakangi anak gangguan sosio emosional beserta gejala-gejalanya perlu ditelusuri untuk memberikan pemahaman yang jelas tentang anak yang mangalami gangguan tersebut. Dengan memahami hal itu akan mempermudah dalam usaha menanggulangi dan memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Dari berbagai faktor yang berkaitan dengan masalah gangguan sosio emosional, berikut dibahas mengenai kondisi/keadaan fisik, masalah perkembangan, lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
1. Kondisi/keadaan fisik
Telah banyak tulisan maupun penelitian yang mengupas masalah kondisi/keadaan fisik dalam kaitannya dengan masalah gangguan tingkah laku, baik yang merupakan akibat langsung maupun tidak langsung.
Ada sementara ahli yang meyakini bahwa disfungsi kelenjar endoktrin dapat mempengaruhi timbulnya gangguan tingkah laku, atau dengan kata lain kelenjar endoktrin berpengaruh terhadap respon emosional seseorang. Bahkan dari hasil penelitiannya, Gunzburg seperti yang dikutif oleh Sutjihati Somantri menyimpulkan bahwa disfungsi kelenjar endoktrin merupakan salah satu penyebab timbulnya kejahatan. Kelenjar endoktrin ini mengeluarkan hormone yang mempengaruhi tenaga seseorang. Bila secara terus menerus fungsinya mengalami gangguan, maka dapat berakibat terganggunya perkembangan fisik dan mental seseorang sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan wataknya.
Kondisi fisik ini dapat pula berupa kelainan atau kecacatan baik tubuh maupun sensoris yang dapat mempengaruhi perilaku sesorang. Kecacatan yang dialami seseorang mengakibatkan timbulnya keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya baik berupa kebutuhan fisik-biologis maupun kebutuhan psikisnya.
Masalah ini menjadi kompleks dengan adanya sikap atau perlakuan negatif dari lingkungannya. Sebagai akibatnya, timbul perasaan rendah diri, perasaan tidak berdaya/tidak mampu, mudah putus asa, dan merasa tidak berguna sehingga menimbulkan kecendrungan menarik diri dari lingkungan pergaulan atau sebaliknya, memperlihatkan tingkah laku agresif, atau bahkan memanfaatkan kelainannya untuk menarik belas kasih lingkunggannya.
2. Masalah Perkembangan
Didalam menjalani setiap fase perkembangan individu, sulit untuk terhindar dari berbagai konflik. Mengenai hal ini, Erikson yang dikutif dalam Sutjihati Somantri menjelaskan bahwa setiap memasuki fase perkembangan baru, individu dihadapkan pada berbagai tantangan atau krisis emosi. Anak biasanya dapat mengatasi krisis emosi ini jika pada dirinya tumbuh kemampuan baru yang berasal dari adanya proses kematangan yang meyertai perkembangan. Apabila ego dapat mengatasi krisis ini, maka perkembangan ego yang matang akan terjadi sehingga individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial atau masyarakatnya. Sebaliknya apabila individu tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut maka akan menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku. Konflik emosi ini biasanya terjadi pada masa kanak-kanak dan masa puberitas.
Adapun ciri yang menonjol yang nampak pada masa kritis ini adalah sikap menantang dank eras kepala. Kecenderungan ini disebabkan oleh karena anak sedang dalam proses menemukan “aku”nya. Anak merasa jadi tidak puas dengan otoritas lingkungan sehingga timbul gejolak emosi yang meledak-ledak, misalnya: marah, menentang, memberontak, dank eras kepala. Emosi yang kuat seringkali meluap-luap sehingga dapat menimbulkan ketegangan dan kecemasan. Mereka seringkali menentang dan melanggar peraturan baik dirumah maupun disekolah.
Kartini Kartono (1982) menegaskan bahwa penghalang terhadap kelangsungan fungsi-fungsi fisik atau psikis pada masa ini dapat mengakibatkan kemunduran pada individu. Jiwa anak yang masih labil pada masa ini banyak menagndung resiko berbahaya, jika kurang mendapatkan bimbingan dan pengarahan dari orang dewasa maka anak akan mudah terjerumus pada tingkah laku menyimpang.
3. Lingkungan Keluarga
Kajian terhadap lingkungan keluarga dalam kaitannya dengan masalah ketunalarasan telah lama menjadi perhatian ahli. Sebagai lingkungan pertama dan utama dalam kehidupan anak, keluarga memilki pengaruh yang demikian penting dalam membentuk kepribadian anak. Keluargalah peletak dasar perasaan aman (emotional security) pada anak, dalam keluarga pula anak memperoleh pengalaman pertama mengenai perasaan dan sikap sosial. Lingkungan keluarga yang tidak mampu memberikan dasar perasaan aman dan dasar untuk perkembangan sosial dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku anak.
Mengingat banyak sekali faktor yang terdapat dalam lingkungan keluarga yang berkaitan dengan masalah gangguan emosi dan tingkah laku, maka dalam pembahasan berikut akan dikemukakan beberapa aspek diantaranya:
a. Kasih sayang dan perhatian
Kasih saying dan perhatian orang tua dan anggota keluarga lain sangat dibutuhkan oleh anak. Kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua mengakibatkan anak mencarinya diluar rumah. Dia bergabung dengan kawan-kawannya dan membentuk suatu kelompok anak yang merasa senasib. Selain itu memperoleh rasa aman dalam kelompoknya, dapat juga anak dengan sengaja melakukan perbuatan tercela dan menetang norma lingkungan untuk memperoleh perhatian orang tuanya. Menegenai hal ini, Sofyan S. Willis dalam Sutjihati Somantri mengemukakan bahwa mereka berkelompok untuk memenuhi kebutuhan yang hampir sama, antara lain mendapatkan perhatian dari orang tua dan masyarakat.
Selain sikap diatas, tidak jarang diantara orang tua justru memberikan kasih sayang, perhatian, dan bahkan perlindungan yang berlebihan (over protective). Sikap memanjakan dapat menyebabkan ketergantungan pada anak sehingga jika anak mengalami kegagalan dalam mencoba sesuatu ia lekas menyerah dan merasa kecewa, sehingga pada akhirnya akan timbul rasa tidak percaya diri/rendah diri pasda anak.
b. Keharmonisan keluarga
Banyak tindakan kenakalan atau gangguan tingkah laku dilakukan oleh anak-anak yang berasal dari lingkungan keluarga yang kurang harmonis. Ketidakharmonisan ini dapat disebabkan oleh pecahnya keluarga atau tidak adanya kesepakatan antara orang tua dalam menerapkan disiplin dan pendidikan terhadap anak. Kondisi keluarga yang pecah atau rumah tangga yang kacau menyebabkan anak kurang mendapatkan bimbingan yang semestinya.
Berdasarkan hasil studinya, Hetherington dalam Sutjihati Somantri menyimpulkan hampir semua anak yang menghadapi perceraian orang tua mengalami masa peralihan yang sangat sulit.
Orang tua yang sering berselisih paham dalam menerapkan peraturan atau disiplin dapat menimbulkan keraguan pada diri anak akan kebenaran suatu norma, sehingga akhirya anak mencari jalan sendiri dalam hal ini dapat saja menjadi awal dari terjadinya gangguan tingkah laku.
c. Kondisi ekonomi
Lemahnya kondisi ekonomi keluarga dapat pula menjadi salah-satu penyebab tidak terpenuhinya kebutuhan anak, padahal sdeperti kita ketahui pada diri anak timbul keinginan-keinginan untuk menyamai temannya yang lain, misalnya: dalam berpakaian, kebutuhan akan hiburan, dan lain-lain. Tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut didalam kelaurga dapat mendorong anak mancari jalan sendiri yang kadang-kadang mengarah pada tindakan anti sosial. G.W. Bawengan (1977) menyatakan bahwa kondisi-kondisi seperti kemiskinan atau pengangguran secara relative dapat melengkapi rangsangan-rangsangan untuk melakukan pencurian, penipuan, dan perilaku menyimpang lainnya.

4. Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan tempat pendidikan yang kedua bagi anak setelah keluarga. Tanggung jawab sekolah tidak hanya sekedar membekali anak didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan, akan tetapi sekolah juga bertanggung jawab membina keprbadian anak didik sehingga menjadi seorang individu dewasa yang bertanggung jawab baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan masyarakat yang lebih luas. Akan tetapi tidak jarang sekolah dapat menjadi penyebab timbulnya gangguan tingkah laku pada anak seperti yang dikemukakan Sofyan Willis (1978) bahwa dalam rangka pembinaan anak didik kearah kedewasaan, kadang-kadang sekolah juga penyebab dari timbulnya kenakalan remaja.
Timbulnya gangguan tingkah laku yang disebabkan lingkungan sekolah antara lain berasal dari guru sebagai tenaga pelaksana pendidikan dan fasilitas penunjang yang dibutuhkan anak didik. Perilaku guru yang otoriter mengakibatkan anak merasa tertekan dan takut menghadapi pelajaran. Anak lebih memilih membolos dan berkeluyuran pada saat seharusnya ia berada didalam kelas. Sebaliknya, sikap guru yang terlampau lemah dan membiarkan anak didiknya tidak disiplin mengakibatkan anak didik berbuat sesuka hati dan berani melakukan tindakan-tindakan menentang peraturan.
Selain guru, fasilitas pendidikan berpengaruh pula terhadap terjadinya gangguan tingkah laku. Sekolah yang kurang mempunyai fasilitas yang dibutuhkan anak didik untuk menyalurkan bakat dan mengisi waktu luang mengakibatkan anak menyalurkan aktivitasnya pada hal-hal yang kurang baik. Misalnya: karena tidak ada tempat untuk bermain, anak berkeliaran ditempat-tempat umum sehingga kadang-kadang anak mengabaikan waktu belajarnya.

5. Lingkungan Masyarakat
Lingkungan tempat anak berpijak sebagai mahluk sosial adalah masyarakat. Apakah benar tingkah laku anak dibentuk oleh lingkungan soisalnya? Yang jelas menurut Bandura (dalam Kirk & Gallagher, 1986), salah satu hal yang nampak mempengaruhi pola perilaku anakdalam lingkungan sosial adalah keteladanan, yaitu menirukan perilaku orang lain.
Disamping pengaruh-pengaruh yang bersifat positif, didalam lingkungan masyarakat juga terdapat banyak sumber yang merupakan pengarug negative yang dapat memicu timbulnya perilaku menyimpang. Sikap masyarakat yang negative ditambah banyaknya hiburan yang tidak sesuai dengan perkembangan jiwa anak merupakan sumber terjadinya kelainan tingkah laku. Hal ini terutama terjadi dikota-kota besar dimana tersedia berbagai fasilitas tontonan dan hiburang yang tidak tersaring oleh budaya local.
Masuknya pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan tradisi yang dianut masyarakat yang diterima begitu saja oleh kalangan remaja dapat menimbulkan konflik yang sifatnya negative. Disatu pihak para remaja menganggap bahwa kebudayaan asing itu benar, sementara di pihak lain masyarakat masih memegang norma-norma yang bersumber pada adat dan istiadat agama. Selanjutnya konflik juga dapat timbul pada diri anak sendiri yang disebabkan norma yang dianut dirumah atau keluarga ditekankan pada tingkah laku sopan dan menghargai orang lain, akan tetapi ia menemukan kenyataan lain dalam masyarakat dimana banyak ditemukan tindakan kekerasan dan tidak adanya sikap saling menghargai.
Selain faktor-faktor secara umu, berikut ini coba dikemukakan faktor penyebab secara spesifik terhadap masing-masing jenis gangguan yang dibatasi pada pembahasan makalah ini antara lain:
1. Faktor pemicu agresivitas
Agresivitas terjadi pada setiap anak, terdapat beberapa faktor yang dapat meneyebabkannya. Faktor ini dapat berupa faktor biologis yang berasal dari dalam diri anak (internal) maupun faktor lingkungan yang berasal dari luar diri anak (eksternal). Faktor-faktor biologis dapat berupa pengaruh genetik, system otak, dan kimia darah (hormone seks). Adapun faktor-faktor eksternal yang dapat berupa kemiskinan, kondisi lingkungan fisik yang tidak mendukung (suhu udara yang panas, oksigen yang terbatas), dan kecendrungan meniru model kekerasan yang ada disekitarnya, baik melalui pengamatan langsung terhadap figure-figur model yang ada disekitarnya maupun pengamatan tidak langsung pada figur-figur model kekerasan ditelevisi.
Selain karena faktor-faktor yang telah diuraikan tersebut, Izzaty menguraikan bahwa perilaku agresi dapat terpicu oleh beberapa sumber yang berasal dari dalam diri anak maupun lingkungan sekitarnya. Namun terkadang penyebab perilaku agresi pada anak dapat disebabkan oleh pemicu yang berkaitan dengan kondisi perkembangan, seperti kemampuan bicara belum lancar, energi anak yang berlebihan, perasaan yang tertekan dan terluka, serta keinginan mencari perhatian.
2. Faktor pemicu kecemasan
Sebagian faktor kecemasan dapat disebabkan oleh pola asuh orang tua yang kurang tepat, terutama saat awal kehidupan anak dalam membentuk basic trust atau kepercayaan dasar. Anak yang tidak memilki rasa aman dan memandang dunia diluar dirinya sebagai ancaman, ia cendrung akan lebih muda mengalami kecemasan khususnya saat mengalami berbagai perubahan situasi dan kondisi sekitar.
Beberapa penyebab kecemasan yang dialami anak yaitu:
a. Orang tua yang terlalu melindungi (over protective)
b. Orang tua signifikan others yang tidak konsisten, yang menyebabkan anak tidak mampu memprediksi sesuatu yang akan terjadi.
c. Aturan atau disiplin yang terlalu berlebihan, sehingga menimbulkan rasa cemas pada anak jika melakukan kesalahan karena adanya hukuman atau sanksi yang ditakuti anak.
d. Orang tua yang selalu menuntut kesempurnaan atas prestasi anak, membuat anak selalu merasa dituntut melakukan yang terbaik. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan pada pada diri anak dan membuat anak tidak dapat rileks dalam menghadapi berbagai sesuatu.
e. Anak yang selalu mendapat penghargaan bersyarat (conditioning regard), akan cendrung mengalami kecemasan karena anak akan menuntut dirinya sesuai tuntutan dari lingkungan dan membuat anak tidak dapat berekspresi apa adanya.
f. Kritikan yang berlebihan dari orang tua atau orang dewasa disekitarnya.
g. Ketergantungan yang berlebihan terhadap orang dewasa yang ada disekitarnya. Anak yang selalu tergantung pada orang lain dan tidak dibiasakan untuk mandiri, cendrung lebih mudah mengembangkan kecemasan karena ketidakpercayaan pada diri sendiri bahwa ia mampu.
h. Anak yang cendrung tidak banyak bersosialisasi pada orang lain.
i. Figure model dari orang tua atau significan others yang sering menunjukkan kecemasan.
j. Adanya kegagalan atau frustasi yang terus-menerus.
Sedangkan faktor pemicu kecemasan berupa takut berlebihan atau fobia ada beberapa hal antara lain: perasaan takut ini biasanya muncul karena adanya peristiwa atau situasi yang dianggap berbahaya. Terdapat beberapa sumber takut yang biasa dialami oleh individu, yaitu hewan (serangga, ngengat, dan lalat), benda-benda yang berbahaya seperti listrik, mobil, senjata, atau tempat-tempat tertentu.

3. Faktor pemicu Temper Tantrum
Izzaty dalam Riana Mashar , menyatakan bahwa beberapa ahli menyebutkan penyebab temper tantrum yang paling umum terjadi pada anak karena beberapa hal, yaitu frustasi, lapar, sakit, kemarahan, kecemburuan, perubahan dalam rutinitas, serta tertekan dirumah dan disekolah.
4. Faktor pemicu Menarik Diri (Withdrawl)
Terdapat beberapa penyebab withdrawl pada anak, yaitu faktor lingkungan yang kurang member stimulasi dan dorongan untuk bersosialisasi; serta kecendrungan tipe kepribadian anak yang menurut Jung mengarah pada tipe kepribadian introvert. Atau ditinjau dari disposisi emosional berdasar cairan tubuh yang dikemukakan Hippocrates, maka anak tersebut cendrung termasuk dalam kategori melankolis. Selain kedua faktor tersebut, Izaty dalam Riana Mashar mengungkapkan bahwa rasa tidak puas pada diri anak terhadap lingkungan, ketiadaan minat yang sama, dan perbedaan usia anak dengan teman sebayanya, dapat menjadi faktor yang menimbulkan perilaku withdrawl.
5. Faktor pemicu Hipersensitivitas
Hipersensitivitas dapat disebabkan karena perasaan berbeda dengan orang lain. Anak merasa dirinya tidak sepandai, semenarik atau sepopuler anak-anak lain. Selain itu, dapat pula disebabkkan oleh adanya harapan-harapan yang tidak realistis. Bila anak terlalu berharap dari orang lain, secara terus-menerus mereka akan kecewa. Hipersensitivitas berkembang sejak anak menginginkan adanya penerimaan yang total dari orang lain, setiap pertanda adanya penolakan akan dirasakan sangat menyakitkan. Anak yang hipersensitif memilki harapan yang tinggi bahwa orang lain akan selau bersikap manis dan selalu memahami kebutuhan-kebutuhannya. Kondisi tersebut biasanya terbentuk dari pola asuh dan sikap orang tua yang overprotective dan memanjakan.
6. Faktor pemicu Bunuh Diri
Hidayat dalam Riana Mashar , menyatakan bahwa bunuh diri adalah tindakan merusak diri sendiri yang mengakibatkan kematian. Bunuh dari pada anak-anak umumnya disebabkan implusivitas dank karena kekacauan dalam kelaurga. Menurut Sigmund Freund, bunuh diri pada penderita kesedihan dan depresi ada hubungannya dengan agresi. Kehilangan objek cinta menyebabkan agresi terhadap objek yang hilang ini, kemudian berbalik pada diri sendiri (introspeksi). Adapun pada penderita psikotik bunuh diri dapat berhubungan dengan halusinasi atau waham yang diderita. Orang yang menderita kesulitan hidup (terbelit utang) dan melakukan tindakan bunuh diri dapat dijelaskan dengan menggunakan teori Nico Speijer, yang menyatakan bahwa pada kejadian bunuh diri terdapat agresi hebat yang tidak dapat disalurkan atau disublimasikan. Agresi timbul setelah orang mengalami frustasi, misalnya karena tidak mampu membayar utang, kehilangan harga diri, menyatakan bahwa integrasi sosial dan regulasi sosial dapat mempengaruhi perilaku bunuh diri disuatu masyarakat.

D. Upaya Intervensi Gangguan Perkembangan Sosial dan Emosional Anak Usia Dini
Sebelum melakukan intervensi, seperti yang telah diketahui bahwa langkah awal adalah melakukan asesmen dahulu sebagai bentuk deteksi dini pada kondisi anak agar dapat memastikan jenis gangguan dan kondisi tingkat gangguan yang terjadi pada anak. Dengan demikian, baik orangtua maupun guru dapat memberikan intervensi atau penanganan atau tindakan yang tepat untuk menghadapi anak yang mengalami gangguan sosial dan emosional.
Beberapa penanganan yang dapat dilakukan oleh orang dewasa sebagai bentuk intervensi pada anak usia dini yang mengalami gangguan sosial emosional tertentu seperti di bawah ini:
1. Agresivitas (salah satu bentuk ketunalarasan)
Riana Mashar mengatakan bahwa agresivitas pada anak usia dini yang tidak ditangani dengan baik akan berpeluang besar menjadi perilaku yang menetap dan menimbulkan masalah baru di masa perkembangan selanjutnya. Berbagai perilaku antisosial, kenakalan remaja, putus sekolah, perilaku-perilaku negatif lain dapat terjadi karena agretivitas masa usia dini tidak tertangani dengan baik.
Mengingat pentingnya penanganan agretivitas sejak dini, maka orang tua dan pendidik perlu memerhatikan beberapa perlakuan awal bagi anak dengan perilaku agresi sebgaai berikut :
1. Mengajarkan semua anak tentang keterampilan sosila untuk berhubungan dengan orang lain.
2. Menciptakan lingkungan sekolah yang menekan tingkat frustasi atau tekanan pada anak, sehingga lebih memberi keleluasaan anak dalam beraktifitas selama proses pembelajaran, misalnya dengan penerapan pembelajaran aktif.
3. Anak yang berprilaku agresif dapat diatasi dengan menerapkan peraturan yang disertai dengan pemberian penguat atau positive reinforcement dan negative reinforcement.
4. Orang tua dan pendidik dapat pula menerapkan tekhnik penghapusan (extinction) atau pengabaian, yaitu dengan mengabaikan perilaku agresi anak dan tidak menunjukkan perhatian saat anak berperilaku agresi.
5. Anak diajarkan untuk lebih mengembangkan kecerdasan emosinya, dengan melatih anak untuk mampu mengenali emosi, mengelola emosi, berempati, mengembangkan hubungan baik dengan teman, dan motivasi diri. Ini semua dapat diawali dengan relaksasi diri.

2. Kecemasan
Banyak hal yang menjadi sumber kecemasan pada anak, beberapa penyebab kecemasan sebagaimana dipaparkan oleh Riana Mashar yang dialami anak yaitu:
1. Orang tua yang terlalu melindungi ( over protective)
2. Orang tua atau siginificant others yang tidak konsisten, yang menyebabkan anak tidak mampu memprediksi sesuatu yang akan terjadi
3. Aturan atau disiplin yang terlalu berlebihan, sehingga menimbulkan rasa cemas pada anak jika melakukan kesalahan karena ada hukuman dan sangsi yang ditakuti anak.
4. Orangtua selalu menuntut kesempurnaan atas prestasi anak, membuat anak selalu merasa dituntut melakukan yang terbaik. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan pada diri anak dan membuat anak tidak dapat relaks dalam menghadapi berbagai sesuatu.
5. Anak yang selau mendapat penghargaan bersyarat (conditioning regard), akan cenderung mengalami kecemasan karena anak akan menuntut dirinya sesuai tuntutan dari lingkungan dan membuat anak tidak dapat berekspresi apa adanya.
6. Kritikan yang berlebihan dari orang tua atau orang dewasa di sekitarnya.
7. Ketergantungan yang berlebihan pada orang dewasa yang ada di sekitarnya .anak yang selalu tergantung pada orang lain dan tidak dibiasakan untuk mandiri, cenderung lebih mudah mengembangkan kecemasan karena ketidak percayaan kepada diri sendiri bahwa dia mampu.
8. Anak yang cenderung tidak banyak bersosialisasi dengan orang lain.
9. Figure model dari orang tua atau significan others yang sering menunjukkan kecemasan.
10. Adanya kegagalan atau frustasi yang terus menerus.
Penanganan kecemasan pada anak harus didahului dengan penanganan terhadap orang tua. Beberapa cara yang dapat ditempuh untuk menangani kecemasan pada anak adalah sebagai berikut:
1. Mencari sumber yang mebuat anak cemas
2. Memberikan rasa aman pada anak dengan menunujukkan sikap yang tenang, menerima keadaan anak, dan tidak menambah beban psikologis pada anak dengan mengancam, menakut-nakuti, atau memarahi anak.
3. Membantu anak mengatasi rasa cemasnya misalnya dengan menerapkan tekhnik desentitasi sistematis, yaitu cara bertahap membantu anak sedikit demi sedikit mengurangi kecemasannya secara bertahap.
4. Mengalihkan anak dari sumber rasa cemas dengan melatih anak untuk relaksasi atau melakukan kegiatan-kegiatan lain yang menarik.
5. Melakukan hal-hal yang menenangkan, seperti mendengarkan music, cerita, atau menggambar.
6. Mengajak anak berbicara tentang sumber kecemasan yang dialami dengan kata-kata yang menenangkan dan membuat ia merasa nyaman.
7. Membiasakan anak terbuka dan mampu mengekspresikan perasaannya.
8. Meminta bantuan ahli jika kecemasan anak berlarut-larut.
Selain itu Rini Hildayani mengatakan bahwa terdapat beberapa bentuk kecemasan, yaitu fobia, fobia merupaka ketakutan yang tidak realistik, intens dan mengganggu terhadap obyek atau peristiwa yang relative tidak berbahaya. Penyebab fobia masih belum diketahui secara pasti, apakah suatu stimulus akan mendatangkan ketakutan tergantung pada perasaan aman yang dimiliki anak. Perasaan aman ini sering dipengaruhi asing tidaknya setting fisik dan sosial bagi anak, tingkat perkembangan kognitif yang menentukan apkah sebuah peristiwa akan dikelompokkan sebagai suatu yang cukup dikenal atau asing bagi anak, keadaan kesejahteraan anak dan karakteristik temperamental jangka panjang, seperti kuat dan tabah atau sensitive dan mudah merasa takut. Dalam penanganan fobia adalah anda menjadi model yang baik bagi anak. Dengan modeling, anak mengamati bagaimana anda berinteraksi secara adaptif dengan objek yang ditakutinya. Hal lain yang juga dapat dilakukan adalah juga participatory modeling, artnya anak bergabung dengan model untuk mendekati, mengamati objek yang ditakutinya secara bertahap dan perlahan.
Salah satu ketakutan yang umum terjadi pada anak anak adalah ketakutan pada sekolah atau biasa disebut fobia sekolah. meskipun belum ditemukan adanya alas an yang jelas untuk terjadinya serngan fobia, King, Hamilton, dan Ollendick. Wenar mengemukakan bahwa perubahan sekolah, penyakit atau kematian orang tua, serta kondisi yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah akibat sakit atau kecelakaan dapat menjadi peristiwa-peristiwa umum yang menyebabkan anak fobia terhadap sekolah. Selain itu sebuah penelitian kecil tentang keluarga juga menemukan bahwa fobia sekolah dapat terjadi pada anak-anak yang sangat dependen dan orang tua yang terlibat secara berlebihan.
Dalam penanganan fobia sekolah ini Kearney dan Silverman mengemukaan bahwa penanganannya harus disesuaikan dengan ketakutan yang dialami anak. Anak yang mengalami ketakutan pada setting sekolah tertentu, misalnya guru, atau bis sekolah, dapat ditangani dengan cara menghadirkan secara perlahan-lahan objek yang ditakutinya. Anak yang ingin melepaskan diri dari situasi sosial yang tidak menyenangkan misalnya hubungan dengan teman yang tidak menyenangkan, ditanganani dengan tekhnik modeling dan restrukturisasi kognitif. Adapun anak-anak yang memperlihatkan keluhan fisik tetap ditempatkan di rumah dan penanganan dilakukan dengan menginstruksikan orangtua untuk mengabaikan anak, menempatkan anak di dalam kamar, dan memberi pilihan pada anak untuk tinggal di rumah dengan konsekwensi tertentu ( misalnya tidak diperkenankan menonton tv , tidak boleh bermain dan lainnya) atau hadir di sekolah.
Takut berlebihan atau disebut juga fobia yang merupakan bagian dari kecemasan atau anxietas. Perasaan takut yang berlebihan pada anak akan menghambat anak dalam beraktifitas, sehingga perlu penanganan secara tepat. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi ketakutan yang berlebihan pada anak antara lain :
a. Mengidentifikasi ketakutan anak dan tidak membebani anak dengan kecemasan-kecemasan yang dirasakan oleh pendidik atau orang tua
b. Memberi pengertian kepada anak tentang sumber rasa takut dan jika memungkinkan menerapkan prinsip desentisasi sistematis, yaitu tekhnik perubahan tingkah laku dengan pembiasaan-pembiasaan terhadap sumber rasa takut secara bertahap.
c. Memberi antisipasi kepada anak dengan melatih mereka untuk secara mandiri mampu mengatasi rasa takutnya, misalnya dengan mengajak anak berinteraksi dan mengamati hal-hal yang menimbulkan rasa takut.
d. Memberi figure model agar ditiru anak untuk mengatasi rasa takut.
3. Temper Tantrum
Ada beberapa cara sederhana dalam menghadapi perilaku tantrum yang ditunjukkan oleh anak prasekolah adalah mencoba mengerti dan memahami jenis tantrum yang dihadapi. Sebagaimana diketahui bahwa ada 3 jenis Tantrum, setiap jenis tantrm membutuhkan penanganan yang berbeda-beda.
d. Penanganan Manipulative Tantrum
Bila anak menunjukkan manipulative tantrum maka yang harus dilakukan adalah mengabaikan (ignorin) perilaku temper tantrum anak dan tidak mempedulikan keinginan anak pada saat itu. Jangan memperhatikan perilaku tantrum yang ditunjukkan aak. Cobalah untuk melihat kea rah anak, dan tetap dengan tenang melakukan pekerjaan anda yang lain.
Tentu saja adalah hal yang sulit untuk member perhatian pada anak yang sedang berteriak-teriak terutama di dalam kelas dengan banyak siswa lain. Sedapat mungkin pisahkan anak dari teman-temannya. Pindahkan anak pada tempat yang lebih tenang, misalnya dipojokan atau ruangan lain yang anda pastikan keamanannya. Katakan pada anak, ”kamu dapat kembali bergabung dengan kami, bila kamu mengendalikan kemarahanmu” atau “untuk sementara kamu diam dulu di ruangan ini sampai kamu bisa berhenti berteriak-teriak seperti itu” mintalah agar anak lain tidak mengacuhkan perilaku temannya itu, katakana pada mereka bahwa si Dodi sedang dihukum karena ibu guru tidak suka ada anak yang berteriak-teriak di dalam kelas. Biar Dodi menghentikan teriakannya itu, dan kita tetap belajar dengan baik. Tidak perlu memperhatikan dodi, sekarang perhatikan ibu….”.
Cara di atas biasa disebut sebagai model time out. Time out merupakan salah satu cara termasuk dalam reducing excess behavior. Hal ini berarti prosedur time out dapat digunakan untuk menurunkan/mengurangi tingkah laku berlebihan yang ditunjukkan seorang anak ketika ia melakukan temper tantrum. Seperti dikemukakan oleh Tyler & Brown (1967 dalam Gelfand & Hartmann, 1975) bahwa time out biasa digunakan untuk mengurangi munculnya perilaku agresif dan tantrum pada anak.
Time out artinya memasukkan anak pada situasi dimana semua orang tidak ada yang mempedulikannya. Time out diarahkan pada tingkah laku specific (target perilaku yang tidak dikehendaki), dimana ketika perilaku tersebut muncul, tidak diberikan /disediakan postif reinforcement selama waktu tertentu. Dengan kata lain selama time out, anak dijauhkan dari segala bentuk positif reinforcement yang biasa diperolehnya.
e. Menangani verbal frustration tantrum
Untuk menangani tantrum jenis kedua ini kita tidak dapat begitu saja mengacuhkan perilaku tantrum anak, jangan membiarkan atau meningggalkan anak karena hanya membuat anak semakin kecewa dan frustasi. Jika hal itu terjadi di sekolah, bisa saja mengamuknya kemudia dialihkan ke rumah karena masalah utamanya tidak terselesaikan.
Maka yang harus dilakukan adalah membantu anak mengenali apa yang dirasakan, kemudian membantunya memecahkan masalahnya.
Kebanyakan anak melakukan tantrum karena anak tidak dapat menunjukkan atau menjelaskan perasaan dan keinginannya melaui kata-kata. Cobalah menunjukkan bahwa anda memahami keadaan anak. Dorong anak untuk mengungkapkan dengan verbal perasaan dan keinginannya. Bila halini sulit bagi anak, cobalah dengan kata-kata anda untuk mengartikan perasaan dan keinginan anak melalui kata-kata hal ini akan membantu mereka untuk memahami frustasi yang mereka rasakan.
f. Menangani Temperramental Tantrum
Penanganan pada tantrum jenis ketiga ini hampir sama seperti pada verbal frustration tantrum dimana mereka mengacuhkan perilaku tantrumnya maka hal ini tidak menyelesaikan masalah. Dikarenakan anak sulit untuk dapat melakukan koktrol terhadap dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Pada tantrum jenis ini adakalanya anda membutuhkan ahli untuk menanganinya.
Berikutnya adalah mencatat hal-hal yang menjadi sumber terjadinya tantrum. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi hal yang dapat memunculkan perilaku tantrum. Hal yang umum memicu terjadi tantrum adalah kondisi-kondisi seperti: anak sedang merasa lelah, lapar atau tertekan oleh hal-hal tertentu.
a. Mengendalikan diri
Adakalanya dalam menghadapi anak yang sedang tantrum, guru terpancing secara emosial. Tetaplah bersikap tenang, tampilkan sikap penghargaan pada anak tersebut, karena jika kita cenderung bersikap emosi pula justru semakin memicu temper tantrum pada anak.
b. Hindari argumentasi dan penjelasan tindakan pada saat anak sedang tantrum
Anak yang sedang berada pada periode tantrum tertinggi tidak dapat mendengar apa yang dikatakan pada mereka, mereka sangat ketakutan bahkan tidak dapat menghentikan tanginan dan teriakannya sendiri (Linsdown & Walker,1996). Argument ataupun memberi alasan tentang tindakan anda tidaklah efektif pada kondisi tersebut.
c. Menghindari Reward
Hendaknya tidak terpengaruh oleh tantrum meskipun saat itu kita merasa bodoh atau bersalah. Kita harus berani mengatakan tidak sekalipun anak menunjukkan perilaku tantrumnya, hal ini bertujuan untuk memberikan pelajaran pada anak bahwa tidak semua keinginan harus dan dapat dituruti. Anak diajarkan tentang hal-hal yang menjadi prioritas, hal-hal yang bermanfaat pada dirinya atau tidak. Selain itu juga untuk membentuk disiplin pada anak.
d. Hindari penggunaan obat
Jangan menggunakan obat untuk menghentikan perilaku tantrum pada anak, walaupun obat tersebut cepat memberikan ketenangan pada anak. melatih anak mengelola, mengontrol emosinya akan lebih baik sekaligus memberikan dampak positif untuk meminimalisir bahkan menghilangkan perilaku tantrum.
Perilaku temper tantrum, dapat diatasi dengan perilaku pendidik atau orang tua yang tetap mampu mengontrol emosi dengan menunjukkan sikap yang tenang, lemah lembut, tidak terpancing untuk ikut marah dan tegas. Jika orang tua atau pendidik memberikan respons atau penguat positif bagi temper tantrum anak, sangat mungkin perilaku ini akan terus menetap dan selalu dijadikan sebagai senjata bagi anak untuk memperoleh apa yang diinginkan.
Riana Mashar memaparkan beberapa cara dalam menghadapi anak temper tantrum sebagai berikut :
a. Pencegahan dan mengenali kebiasaan anak, mengetahui secara pasti pada kondisi-kondisi seperti apa munculnya tantrum serta mengatur pola asuh dan pola didik yang baik bagi orang tua dan pendidik.
b. Ketika tantrum terjadi maka hendaknya dipastikan bahwa lingkungan sekitar aman, orang tua dan pendidik harus tetap tenang dan berupaya menjaga emosinya sendiri agar tetap tenang, tidak mengacuhkan tantrum. Setelah anak menunjukkan penurunan perilaku tantrum, maka orang tua dan pendidik perlu egera mendekati anak, memeluk dan memberi ketenangan kepada anak, setelah anak tenang baru orang tua member pengertian tentang perilaku anak tanpa menyudutkan. Sebaiknya hindari upaya menenangkan anak dengan memberi pelukan atau perhatian berlebihan dan menuruti kemauan anak saat mengembangkan perilaku tantrum karena hal ini akan menjadi penguat positif untuk perilaku negative tersebut.
c. Ketika tantrum telah berlalu maka jangan diikuti dengan hukuman, nasihat-nasihat, atau teguran maupun sindirian-sindiran, jangan memberi hadiah apapun, berikanlah rasa cinta dan aman pada anak,orang tua perlu bekerja sama dengan guru dalam melakukan evaluasi terhadap perilaku tantrum anak.
4. Menarik Diri (With Drawl)
Terdapat beberapa penyebab withdrawl pada anak, yaitu faktor lingkungan yang kurang member stimulasi dan dorongan untuk bersosialisasi, serta kecenderungan tipe kepribadian anak yang menurut Jung mengarah pada tipe kepribadian introvert, atau jika ditinjau dari disposisiemosional berdasar cairan tubuh yang dikemukakan Hippocrates, maka anak tersebut cenderung termasuk kategori melankolis. Selain kedua faktor tersebut, Izzaty mengungkapkan bahwa rasa tak puas diri terhadap lingkungan, ketiadaan minat yang sama, dan perbedaan usia anak dengan teman sebayanya, dapat menjadi faktor yang menimbulkan perilaku withdrawl.
Withdrawl perlu penanganan serius mengingat besar pengaruh sosialisasi dengan teman sebaya terhadap perkembangan aspek perkembangan anak. Baik Piaget, Anna Freud, maupun Vygotsky dalam kesimpulan penelitian-penelitian mereka menyatakan bahwa interaksi dengan teman sebaya dapat meningkatkan kemampuan kognitif, perkembangan bahasa, moral, emosi, dan keterampilan sosial dalam diri anak. Hal ini poerlu menjadi perhatian bagi orang tua dan pendidkk segera member intervensi yang memadai dalam menangani anak-anak withdrawl .
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan dalam penanganan withdrawl diantaranya orang tua dan pendidik perlu mengembangkan sikap penerimaan dan penghargaan terhadap setiap ekspresi anak, baik perasaan, ide, pernyataan, atau ungkapan-ungkapan verbal anak. Penghargaan dari lingkungan sekitar akan menimbulkan percaya diri dan rasa aman pada anak. Selain itu, anak juga perlu distimulasi guna mengikuti kegiatan-kegiatan kelompok agar anak berinteraksi dengan banyak orang. Jika permasalahan tersebut terus berlanjut, sebaiknya orang tua segera mengkonsultasikan anak kepada ahli yang lebih kompeten.
6. Hipersensitivitas
Hipersensivitas dapat disebabkan karena perasaan berbeda dengan orang lain. Anak merasa tidak sepandai, semenarik atau sepopuler anak-anak lain. Selain itu , dapat pula disebabkan oleh adanya harapan-harapan yang tidak realistis. Bila anak telalu berharap dari orang lain, secara terus menerus mereka akan merasa kecewa. Hipersensivitas berkembang sejak anak menginginkan adanya penerimaan yang yotal dari orang lain, setiap pertanda adanya penolakan akan dirasakan sangat menyakitkan. Anak yang hipersensitif memiliki harapan yang tinggi bahwa orang lain akan selalu bersikap manis dan selalu memahami kebutuhan-kebutuhannya. Kondisi tersebut biasanya terbentuk dari pola asuh dan sikap orang tua yang over protective dan memanjakan.
Beberapa hal yang perlu dilakukan pendidik atau orang tua dalam menangani anak hipersensitif diantaranya :
a. Menghindari sikap overprotective pada anak.
b. Perlu membiasakan anak untuk menerima masukan, kritik, dan saran dari lingkungan sekitar
c. Perlu mengajarkan pada anak untuk memandang dirinya secara lebih proporsional
d. Anak perlu dilatih untuk memiliki keterampilan menyelesaikan masalah
7. Bunuh Diri
Hidayat dalam Riana Mashar menyatakan bahwa bunuh diri adalah tindakan merusak diri sendiri yang mengakibatkan kematian . bunuh diri pada anak umumnya disebakan impulsivitas dan kekacauan dalam keluarga. Menurut Sigmund Freud , bunuh diri pada penderita kesedihan dan depresi adanya hubungannya dengan agresi. Kehilangan objek cinta menyebabkan agresi terhadap objek yang hilang ini, kemudian berbalik kepada diri sendiri (introspeksi).
Berdasar kasus bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak, terdapat bebrapa macam faktor pencetus yang mengakibatkan anak melakukan bunuh diri. Hidayat, mengamati terdapat dua faktor yang menyebabkan anak melakukan percobaan bunuh diri. Faktor pertama karena anak tidak mempunyai keterampilan hidup menghadapi stress. Adapun faktor kedua orang tua gagal dalam mengajarkan keterampilan hidup pada anak. Ketidakmampuan anak dalam mengahadapi stress dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang ada di sekitar anak. Lingkungan yang mempunyai masalah sosial misalnya terjadi kekerasan, persaingan ekonomi, dapat mempengaruhi keharmonisan dalam rumah tangga dan kondisi psikis anak. Anak-nak yang mengalami kekerasan, kecanduan, kemiskinan, dan pelanggaran seksual dan atau emosional memiliki resiko lebih tinggi terhadap percobaan bunuh diri. Selain itu, lingkungan sekolah juga berpengaruh besar pada anak. Seorang guru yang tidak bijak dapat menyebabkan stress pada diri anak, karena dipermalukan di depan teman-teman.
Tindakan preventif pada anak usia dini untuk menghindari tindakan bunuh diri dari beberapa kesimpulan pemicu tindakan bunuh diri adalah sebagai berikut :
a. Penanaman kecintaan Allah sebagai Pencipta yang Maha Pengasih dan Penyayang.
b. Pengasuhan dengan kasih sayang , menumbuhkan keyakinan diri dan kepercayaan diri pada anak, serta mengarahkan anak pada kegiatan peningkatan kemampuan individual anak .
c. Peningkatan keterampilan hidup pada anak
d. Dalam bersosialiasi dengan teman dan lingkungan sekitarnya hendaknya anak dibekali pula keterampilan problem solving dalam mengatasi permasalahan yang muncul dalam interaksinya dengan teman dan lingkungannya.
e. Menciptakan lingkungan yang nyaman dan ramah anak.
Hal lain sebagaimana yang dungkapkan Maslow (Hal, 1985 ) bahwa sekolah memainkan peranan, gangguan sosial emosional yang dialami anak secara general jika merujuk dari teori Maslow adalah merupakan kebutuhan aktualisasi diri yang tidak dapat dicapai disebabkan oleh berbagai sebabnya.
Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua maupun para pendidik untuk mengatasi hal tersebut :
a. Berikan kesempatan kepada setiap anak untuk mengalami setiap kejadian dengan hidup, penuh, tidak egois. Kita hendaknya menciptakan situasi yang memungkinkan anak berkonsentrasi dengan pengalaman tersebut dan biarkan pengalaman itu merasuk dalam diri anak
b. Kehidupan adalah proses terus menerus dari memilih keamanan (aman dari rasa takut dan kebutuhan untuk memepertahankan diri) dan risiko (untuk dapat tumbuh dan berkembang) ciptakan situasi yang dapat menolong anak emilih resiko sehingga mereka akan selalu tumbuh dan berkembang
c. Apabila anak harus selalu berfikir, jangan terlalu banyak member petunjuk. Biarkan anak mengatakan apa yang mereka rasakan.
d. Apabila anak dalam keraguan, dorong anak untuk dapat mengatakan sejujurnya. Apabila anak melihat dirinya sendiri dan berlaku jujur, mereka akan bertanggung jawab.
e. Biarkan anak mendengarkan seleranya sendiri dan bersiap untuk tidak popular
f. Berikan kesempatan pada anak untuk menggunakan kepandaiannya. Dorong anak untuk bekerja sebaik mungkin sesuai dengan apa yang ingin mereka kerjakan.
g. Ajak anak untuk mempelajari apa yang terbaik dan terburuk dari mereka dan bantu anak untuk menyingkirkan segala ilusi dan keyakinan palsu.
h. Minta anak untuk mengenali dirinya sendiri, apa disukai dan tidak disukai, apa yang baik dan buruk untuk mereka, ke mana arah dan tujuan mereka selain itu, anak juga didorong untuk mengenali pertahanan dirinya dan menemukan kekuatan untuk mengalahkan

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengertian gangguan perkembangan sosial emosional anak usia dini adalah ketidaknormalan yang menghambat perkembangan anak usia dini kaitannya dalam mengelola emosi, kepribadian, dan hubungan interpersonal anak dengan orang lain.
2. Jenis-jenis gangguan perkembangan sosial emosional anak usia dini sangat banyak mengingat definisi gangguan sosial dan emosional pun amat luas dan beragam, namun jenis gangguan perkembangan sosial emosional pada anak usia dini dapat dikelompokkan menjadi: tunalaras (agresivitas, mencuri, berbohong), kecemasan (fobia), menarik diri (withdrawal), temper tantrum, hipersensitivitas, dan bunuh diri.
3. Faktor penyebab gangguan perkembangan sosial emosional anak usia dini antara lain: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, kondisi fisik, masalah perkembangan.
4. Intervensi gangguan perkembangan sosial emosional pada anak usia dini beragam bergantung pada jenis gangguan yang dialami oleh seperti anak tunalaras (agresivitas, mencuri, berbohong), kecemasan (fobia), menarik diri (withdrawal), temper tantrum, hipersensitivitas, dan bunuh diri yang pada intinya semua memerlukan kerjasama yang baik antara orang tua, guru, dan lingkungan masayarakat.

B. SARAN
Perkembangan sosial dan emosional merupakan faktor yang sangat penting dan perlu diperhatikan. Selama ini masih banyak orang tua yang mengesampingkan perkembangan emosi anak usia dini, yang tanpa disadari ketika hambatan perkembangan emosi terhambat maka perkembangan sosial dapat berpengaruh.
Gangguan-gangguan yang terjadi perkembangan sosial dan emosional ini perlu mendapat penanganan yang cukup serius. Karena, kesuksesan seseorang ternyata 80% dipengaruhi oleh kecerdasan emosi dan kemampuan interaksi sosialnya.

DAFTAR PUSTAKA

Davidson Gerald C. dkk, 2006, Psikologi Abnormal ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada)
De Clerq Linda, 1997, Tingkah Laku Abnormal ( Jakarta: PT Grasindo)
Hildayani Rini, 2011, Psikologi Perkembangan Anak ( Jakarta: Universitas Terbuka)
Hildayani Rini, 2013, Penanganan Anak Bekelainan (Anak Dengan Kebutuhan Khusus), Jakarta: Universitas Terbuka
Hurlock Elizabeth B., Perkembangan Anak Jilid 1 ( Jakarta: Erlangga, 2011)
Jamaris Martini, 2010, Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pena Mas Murni)
Mashar Riana, 2011, Emosi Anak Usia Dini Dan Strategi Pengembangannya (Kencana: Jakarta)
Nevid S. Jefery, dkk, 2003, Psikologi Abnormal, (Jakarta: Erlangga)
Nugraha, 2004, Strategi pengembangan sosial emosional. (Jakarta: Universitas terbuka)
Papalia, Olds, & Feldman, Human Development, 2009, (Perkembangan Manusia), (Jakarta: Salemba Humanika)
Santrock, 2002, Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, (Jakarta: Penerbit Erlangga)
Somantri Sutjiati, 2007, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung: Refika Aditama)
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2007, Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1 , (Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI)
Supratiknya A., 1995, Mengenal Perilaku Abnormal (Yogyakarta: Kanisius)
Tandry Novita, 2011, Mengenal Tahap Tumbuh Kembang Anak Dan Masalahnya (Libri: Jakarta)
http://www.ditplb.or.id/profile.php?id=47 diakses pada tanggal 9 Mei 2013

Perkembangan Kognitif Anak Usia Dini

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Manusia merupakan salah satu makhluk yang selalu bertumbuh dan berkembang. Anak usia dini adalah bagian dari manusia yang juga selalu bertumbuh dan berkembang bahkan lebih pesat dan fundamental pada awal-awal tahun kehidupannya. Kualitas perkembangan anak di masa depanya, sangat ditentukan oleh stimulasi yang diperolehnya sejak dini.
Pemberian stimulasi pendidikan untuk anak usia dini adalah hal sangat penting mengingat 80% pertumbuhan otak berkembang pada anak sejak usia dini. Elastisitas perkembangan otak anak usia dini lebih besar pada usia lahir hingga sebelum 8 tahun kehidupannya, 20% siasanya ditentukan selama sisa kehidupannya setelah masa kanak-kanak. Dan tentu saja bentuk stimulasi yang diberikan harusnya dengan cara yang tepat sesuai dengan tingkat perkembangan anak usia dini.
Perkembangan Anak Usia Dini meliputi beberapa aspek diantaranya aspek pertumbuhan fisik dan perkembangan motorik, aspek perkembangan kognitif, aspek perkembangan sosio emosional, aspek perkembangan bahasa, serta aspek perkembangan moral agama. Pengembangan seluruh aspek-aspek tersebut secara menyeluruh dan berkesinambungan menjadi suatu hal yang sangat berarti. Dalam memberikan stimulasi untuk mengembangkan aspek-aspek tersebut, tentunlah pemahaman akan konsep dasar berkaitan dengan hal tersebut sangat diperlukan. Untuk itulah makalah ini mengupas berbagai hal berkaitan dengan konsep dan teori serta strategi yang dapat digunakan untuk mengembangan kemampuan dasar anak usia dini terutama pada perkembangan kemampuan kognitif.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan-pertanyaan penting yang dirumuskan dalam makalah ini antara lain:
1. Apakah definisi perkembangan kognitif anak usia dini?
2. Apakah urgensi pengembangan kemampuan kognitif anak usia dini?
3. Apa teori dasar perkembangan kognitif?
4. Apa saja faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak usia dini?
5. Bagaimana proses-proses kognitif pada anak usia dini?
6. Bagaimanakah tahap perkembangan kognitif anak usia dini?
7. Bagaimana klasifikasi perkembangan anak usia dini?
8. Apa strategi Pengembangan Kemampuan Kognitif untuk Anak Usia Dini?

C. Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan-pertanyaan penting yang dirumuskan dalam makalah ini antara lain:
1. Menjelaskan definisi perkembangan kognitif anak usia dini
2. Menyebutkan pentingnya pengembangan kemampuan kognitif anak usia dini
3. Mendeskripsikan teori dasar perkembangan kognitif
4. Menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak usia dini
5. Menjelaskan proses-proses kognitif pada anak usia dini
6. Menjelaskan tahap perkembangan kognitif anak usia dini
7. Menjelaskan klasifikasi perkembangan anak usia dini
8. Menyebutkan strategi Pengembangan Kemampuan Kognitif untuk Anak Usia Dini

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Perkembangan Kognitif Anak Usia Dini
Dalam sub bab ini akan dibahas beberapa hal yang akan membantu memudahkan dalam memahami definisi perkembangan kognitif anak usia dini antara lain: definisi perkembangan, definisi kognitif, dan definisi anak usia dini.
1. Definisi Perkembangan Kognitif
Menurut Werner yang dikutip oleh Monks, dkk , pengertian perkembangan menunjuk pada suatu proses ke arah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja dapat diulang kembali. Perkembangan menunjuk pada perubahan yang bersifat tetap dan tidak dapat diputar kembali. Dalam pertumbuhan, ahli psikologi tidak membedakan antara perkembangan dan pertumbuhan, bahkan ada yang lebih memgutamakan pertumbuhan. Sebenarnya, istilah pertumbuhan dimaksudkan untuk menujukkan bertambah besarnya ukuran badan dan fungsi fisik murni. Menurut banyak ahli psikologi, istilah perkembangan lebih dapat mencerminkan sifat yang khas mengenai gejala psikologis yang muncul.
Perkembangan menurut Berardo yang dikutip oleh Santrock ialah pola gerakan atau perubahan yang dimulai dari pembuatan dan terus berlanjut sepanjang siklus kehidupan. Kebanyakan perkembangan meliputi pertumbuhan, walaupun perkembangan juga mencakup pembusukan (seperti dalam kematian dan orang mati). Pola atau pernyataan-pernyataan dari kelompok-kelompok penekan yang sangat vokal. Para pembuat kebijakan sering terjebak dalam isu-isu ideologis dan moral yang diperdebatkan secara panas, seperti keluarga berencana dan aborsi, atau undang-undang perawatan anak dan cuti melahirkan. Pada poin ini, tidak ada indikasi yang jelas bahwa perbedaan-perbedaan yang tajam tentang peran keluarga dan pemerintah akan diselesaikan sesuai dengan solusi yang rasional di masa depan yang dekat.
Maka perkembangan manusia dapat didefinisikan sebagai suatu yang merujuk pada perubahan-perubahan tertentu yang terjadi dalam sepanjang siklus kehidupan manusia, sejak masa konsepsi sampai mati, tidak dapat berulang, tidak dapat diputar kembali, dan bersifat tetap. Perubahan yang dimaksud dapat berupa perubahan secara kuantitatif dan perubahan secara kualitatif. Perubahan secara kuantitatif itu seperti perubahan dalam tinggi badan, penguasaan jumlah kosakata, perubahan berat badan, dan sebagainya. Sedangkan perubahan secara kualitatif, seperti perubahan dalam struktur dan organisasi dalam kemampuan berpikir, perubahan dalam kemampuan melakukan koordinasi gerakan motorik kasar dan motorik halus, perubahan dalam mengelola emosi, perubahan kemampuan sosial dan sebagainya.
Menurut pakar perkembangan masa hidup, Paul Baltes seperti yang dikutip oleh Santrock bahwa perkembangan masa hidup manusia mencakup tujuh kandungan dasar: perkembangan adalah seumur hidup, multidimensional, multidireksional, plastis, melekat secara kesejarahan, multidisiplin, dan kontekstual.
Perkembangan adalah seumur hidup (lifelong) yang dimaksud adalah tidak ada periode usia yang mendominasi perkembangan. Para peneliti semakin mempelajari penaglaman dan orientasi psikologis orang dewasa pada saat yang berbeda dalam perkembangan mereka. Perkembangan meliputi keuntungan dan kerugian, yang berinteraksi dalam cara yang dinamis sepanang siklus kehidupan.
Perkembangan adalah multidimensional, maksudnya ada;ah perkembangan terdiri atas dimensi-dimensi yang berupa dimensi biologis, kognitif, dan sosial. Bahkan dalam satu dimensi seperti intelegensi, ada banyak komponen, seperti intelegensi abstrak, intelegensi nonverbal, intelegensi sosial, dan lain-lain.
Perkembangan adalah multidireksional. Beberapa atau komponen dari suatu dimensi dapat meningkat dalam pertumbuhan, sementara atau komponen lain menurun. Misalnya, orang dewasa tua dapat semakin arif karena mampu menjadikan pengalaman sebagai panduan bagi pengambilan keputusan intelektual, tetapi melaksanakan secara lebih buruk tugas-tugas yang menuntut kecepatan dalam memproses informasi.
Perkembangan adalah lentur (plastis), maksudnya ia bergantung pada kondisi kehidupan individu, perkembangan dapat mengambil banyak jalan. Suatu agenda penelitian perkembangan kunci ialah pencarian akan kelenturan dan hambatan-hambatannya. Misalnya, para peneliti telah mendemonstrasikan bahwa kemampuan penalaran orang dewasa dapat ditingkatkan melalui pelatihan.
Perkembangan melekat secara kesejarahan (historically embredded), yang dipengaruhi oleh kondisi-kondisi kesejarahan. Pengalaman orang-orang yang berusia 40 tahun yang hidup pada masa Depresi Berat (Great Depression) sangat berbeda dari pengalaman orang-orang yang berusia 40 tahun yang hidup pada akhir Perang Dunia II yang optimistik. Orientasi karir kebanyakan perempatan berusia 30 tahun pada tahun 1990-an sangat berbeda dari orientasi karir kebanyakan perempuan berusia 30 tahun pada tahun 1950-an.
Perkembangan dipelajari oleh sejumlah disiplin. Para psikolog, sosiologi, antorpologi, neurosains, peneliti kesehatan, dan dunia pendidikan semuanya mempelajari perkembangan manusia dan berbagai persoalan untuk membuka misteri perkembangan sepanjang masa hidup.
Perkembangan adalah kontekstual. Individu secara tegrus menerus merespons dan bertindak berdasarkan konteks, yang meliputi make up biologis, lingkungan lingkungan fisik, serta konteks sosial, kesejarahan, dan kebudayaan seseorang. Dalam pandangan kobtekstual, individu dilihat sebagai makhluk yang sedang berubah di dalam dunia yang sedang berubah.
Menurut Myrnawati , kognitif adalah proses yang terjadi secara internal didalam otak pada waktu manusia sedang berpikir atau proses pengolahan informasi.
Istilah cognitive berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti yang luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan,dan penggunaan pengetahuan . Kognitif adalah proses yang terjadi secara internal di dalam pusat susunan syaraf pada waktu manusia sedang berpikir. Kemampuan kognitif ini berkembang secara bertahap, sejalan dengan perkembangan fisik dan syaraf-syaraf yang berada di pusat susunan syaraf. Kognitif adalah suatu proses berpikir, yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa. Proses kognitif berhubungan dengan tingkat kecerdasan (intelegensi) yang menandai seseorang dengan berbagai minat terutama sekali ditujukan kepada ide-ide dan belajar .
Beberapa ahli yang berkecimpung dalam bidang pendidikan mendefenisikan intelektual atau kognitif dengan berbagai pendapat. Seperti halnya defenisi intelegensi menurut Gardner. Menurut Gardner intelegensi sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah atau untuk menciptakan karya yang dihargai dalam suatu kebudayaan atau lebih. Lebih lanjut Gardner mengajukan konsep pluralistis dari intelegensi dan membedakannya kepada delapan jenis intelegensi. Dalam kehidupan sehari-hari, intelegensi itu tidak berfungsi dalam bentuk murni, tetapi setiap individu memiliki campuran yang unik dari sejumlah intelegensi yaitu intelegensi linguistic, ligis,spasial, music, kinestetika, intrapribadi dan antarpribadi, dan naturalistis.
Perkembangan Kognitif adalah perkembangan dari pikiran. Pikiran adalah bagian dari berpikir dari otak, bagian yang digunakan yaitu untuk pemahaman, penalaran, pengetahuan, dan pengertian. Pikiran anak mulai aktif sejak lahir, dari hari ke hari sepanjang pertumbuhannya. Perkembangan pikirannya, seperti: (1) belajar tentang orang, (2) belajar tentang sesuatu, (3) belajar tentang kemampun-kemampuan baru, (4) memperoleh banyak ingatan, dan (5) menambah banyak pengalaman. Sepanjang perkembangannya pikran anak, maka anak akan menjadi lebih cerdas .
2. Definisi Anak Usia Dini
Anak Usia Dini menurut NAEYC (National Association Educational Young Children) merupakan sosok individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjutnya, berada pada rentang usia 0-8 tahun.
Sedangkan anak usia dini disarikan menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa mereka adalah anak yang berada pada rentang usia sejak lahir sampai dengan enam tahun. Dan jika disesuaikan dengan pendapat internasional, maka anak usia dini di Indonesia adalah mereka yang sejak lahir ( usia 0 tahun) hingga memasuki jenjang SD awal.
Namun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak masa konsepsi (dalam kandungan), janin telah berkembang dan terbukti telah dapat dilakukan stimulasi yang dapat mengembangkan berbagai kepekaan dan kemampuan dasarnya. Berdasarkan hal tersebut penulis meyakini bahwa pendidikan atau stimulasi pendidikan sudah mulai dapat dilakukan sejak dalam kandungan, karena itu yang lebih dini sebelum kelahiran. Maka penulis sepakat bahwa anak usia dini adalah sosok makhluk yang berkembangan dan bertumbuh dengan pesat serta fundamental sejak masa konsepsi hingga usia 8 tahun setelah kelahiran.
3. Definisi Perkembangan Kognitif Anak Usia Dini
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa perkembangan kognitif anak usia dini adalah sesuatu yang merujuk pada perubahan-perubahan pada proses berpikir sepanjang siklus kehidupan anak sejak konsepsi hingga usia delapan tahun.

B. Urgensi Pengembangan Kemampuan Kognitif Anak Usia Dini
Adapun proses kognisi meliputi berbagai aspek seperti persepsi, ingatan, pikiran, simbol, penalaran, dan pemecahan masalah. Sehubungan dengan hal ini Piaget berpendapat, bahwa pentingnya pendidik mengembangkan kognitif adalah :
1. Agar anak mampu mengembangkan daya persepsinya berdasarkan apa yang dilihat, didengar dan rasakan, sehingga anak akan memiliki pemahaman yang utuh dan komprehensif
2. Agar anak mampu melatih ingatannya terhadap semua peristiwa dan kejadian yang pernah dialaminya
3. Agar anak mampu mengembangkan pemikiran-pemikirannya dalam rangka menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya.
4. Agar anak mampu memahami simbol-simbol yang tersebar di dunia sekitarnya
5. Agar anak mampu melakukan penalaran-penalaran, baik yang terjadi secara alamiah (spontan), maupun melalui proses ilmiah (percobaan)
6. Agar anak mampu memecahkan persoalan hidup yang dihadapinya, sehingga pada akhirnya anak akan menjadi individu yang mampu menolong dirinya sendiri
Menurut Sunaryo Kartadinata dakan jurnal pendidikan Pedagogia Vol. 1 April 2003 yang telah dikutip oleh Ahmad Susanto menyebutkan bahwa perkembangan otak, struktur otak anak tumbuh terus setelah lahir. Sejumlah riset menunjukkan bahwa pengalaman usia dini, imajinasi yang terjadi, bahasa yang didengar, buku yang ditunjukkan, akan turut membentuk jaringan otak.
Dengan demikian, melalui pengembangan kognitif, fungsi pikir dapat digunakan dengan cepat dan tepat untuk mengatasi suatu situasi untuk memecahkan suatu masalah.

C. Teori Dasar Perkembangan Kognitif

Ada beberapa tokoh yang merumuskan teori kognitif berdasarkan hasil penelitian mereka masing-masing, beberapa diantaranya yang terkenal adalah Jean Piaget, Bruner, Lev Vygotsky.
1. Teori Kognitif Jean Piaget
Para ahli perkembangan anak bersepakat bahwa anak bukan seorang dewasa kecil karena hingga mencapai usia 15 tahun, anak tidak dapat dapat membuat alasan atas tindakannya seperti orang dewasa. Informasi ini didasarkan pada karya Jean Piaget yang oleh Siti Aisyah , seorang ahli perkembangan biologi yang mendedikasikan hidupnya untuk mengamati dan mencatat secara dekat kemampuan intelektual bayi, anak dan adolesen. Tahapan-tahapan perkembangan yang dirumuskan oleh Piaget berhubungan dengan pertumbuhan otak. Menurut Piaget, otak manusia tidak berkembang sepenuhnya hingga akhir masa adolesen. Bahkan otak laki-laki kadang-kadang tidak berkembang sepenuhnya hingga awal masa dewasa.
a. Inteligensi
Latar belakang Piaget dalam bidang Zoology cukup terlihat dari defenisi inteligensi yang dikemukakannya bahwa intelegensi adalah dasar fungsi hidup yang membantu organisme beradapatasi dengan lingkunggannya. Ia mengamati penyesuaian seperti itu dengan melihat bagaimana seorang anak toodler menyalakan televisi, bagaimana anak usia sekolah memutuskan membagi lilin kepada teman-temannya atau seorang remaja yang beranjak dewasa berjuang dan berhasil memecahkan masalah geometri yang sulit. Piaget juga mengemukakan bahwa intelegensi adalah suatu bentuk keseimbangan yang menjadi kecendrungan semua sturktur kognitif. Maksudnya adalah semua kegiatan intelektual dilakukan dengan satu tujuan dalam pikirannya, yaitu menghasilkan keseimbangan atau keharmonisan hubungan antara proses berpikir seseorang dengan lingkungannya. Piaget menekankan bahwa anak-anak bersifat aktif dan merupakan penjelajah yang selalu ingin tahu. Ia secara terus menerus merasa ditantang oleh banyak rangsangan dan kejadian yang tidak langsung dapat ia mengerti. Dia meyakini bahwa ketidakseimbangan antara bentuk berpikir anak dan kejadian dalam lingkungannya, memaksa anak membuat penyesuaian mental yang membuatnya dapat memecahkan pengalaman baru yang membingungkan dan kemudian menghasilkan keseimbangan kognitif.
b. Skema Kognitif: Susunan Intelegensi
Piaget menggunakan istilah skema untuk mendeskripsikan model atau struktur mental yang kita ciptakan untuk mempersentasikan, mengorganisasi, dan menginterpretasi pengalaman kita. Piaget mendeskripsikan tiga macam susunan intelektual yaitu:
1) Skema perilaku (Sensori Motor)
Skema perilaku adalah pola atau bentuk perilaku yang terorganisasi dan digunakan anak untuk menampilkan kembali dan merespons suatu benda atau pengalaman. Untuk bayi berumur 9 bulan, sebuah bola tidak diterima dengan konsep sebuah mainan berbentuk bundaryang mempunyai nama resmi, melainkan sebuah benda yang dapat dipeluk dan digelindingkan oleh dia dan teman-temannya.
2) Skema simbolik
Selama tahun kedua, anak mencapi tingkatan, dimana ia dapat memecahkan masalah dan berpikir tentang benda dan kejadian tanpa harus menyentuh atau mengalaminya. Dengan kata lain, mereka mampu untuk menampilkan kembali pengalamannya secara mental dan menggunakan symbol mental atau skema simbolik ini untuk mencapai tujuan mereka. Contoh: anak usia 16 tahun dapat mencontoh perilaku buruk temannya pada hari lain dan tidak langsung pada hari itu juga.
3) Skema operasional
Menurut Piaget pikiran anak 7 tahun dan anak yang lebih tua diwarnai oleh skema operasional. Pengertian operasi kognitif adalah suatu kegiatan mental secara internal yang ditunjukkan seseorang pada objek yang dipikirkannya untuk mencapai kesimpulan yang logis. Contoh: anak 8 tahun akan berpikir bahwa pola plastisin (plastisin berbentuk bola) yang diratakan/dipipihkan jumlahnya sama dari sebelumnya karena ia akan dengan mudah mengembalikan dalam bentuk aslinya dengan tangannya. Namun anak yang berusia 5 tahun mugkin akan berpikir bahwa palstisin yang diratakan mempunyai jumlah lebih banyak dari bentuk sdebelumnya karena dapat menutup area yang lebuh luas. Meskipun ia dapat memahami bahwa plastisin yang diratakan tersebut dapat dibentuk menjadi bola kembali namun ia tetap berpikir bahwa jumlah plastisin yang diratakan lebih banyak dari jumlah plastisin berbentuk bola.
Dalam skema Piaget menyatakan bahwa ketika anak berusaha membangun pemahaman mengenai dunia, otak berkembang membentuk skema. Inilah tindakan atau representasi mental yang mengatur pengalaman.dalam teori Piaget, skema perilaku( aktivitas fisik) merupakan ciri dari masa bayi dan skema mental (aktivitas kognitif) berkembang pada masa kanak-kanak. Skema bayi disusun melalui tindakan sederhana yang bias dilakukan terhadap objek-objek, seperti menyedot, melihat, dan menggenggam. Anak yang lebih tua mempunyai skema yang meliputi strategi pengklafikasian objek menurut ukuran, bentuk, atau warna .
2. Teori Kognitif Bruner
Dalam teori perkembangan kogintif menurut Bruner dikatakan bahwa dalam evolusi perkembangan manusia, Bruner menemukan tiga bentuk system berpikir manusia yang menstruktur kemampuan manusia dalam memahami dunianya yaitu :
1. Enactive representation, yakni membangun kemampuan berfikir melalui pengalaman empiric atau pengalaman nyata.
2. Iconic representation,berkaitan dengan kemampuan manusia dalam menyimpan pengalaman empiric dalam ingatannya.
3. Symbolic representation berkaitan dengan kemampuan manusia dalam memahami konsep dan peristiwa yang disajikan melalui bahasa.

3. Teori Kognitif Lev Vygotsky

Terdapat dua hal pokok yang dirumuskan dalam teori kognitif yang dikembangkan oleh Vygotsky sebagai berikut:
a. Konsep ZPD (Zone of Proximal Development) yang diterapkan melalui scaffolding yaitu proses pemberian bimbingan pada siswa berdasarkan pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliknya kepada apa yang harus diketahuinya.
b. Scaffolding merupakan aspek penting dalam pembelajaran, terutama dalam pembelajaran untuk anak usia dini.

D. Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Kognitif

Banyak faktor yang dapat memengaruhi perkembangan kognitif, namun sedikitnya faktor yang memengaruhi perkembangan kognitif dijelaskan sebagai berikut (Susanto, 2011: 59-60):
1. Faktor hereditas/keturunan
Teori hereditas atau nativisme yang dipelopori oleh seorang ahli filsafat Schopenhauer, berpendapat bahwa manusia lahir sudah membawa potensi-potensi tertentu yang tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Dikatakan pula bahwa taraf inteligensi sudah ditentukan sejak anak dilahirkan. Para ahli psikologi Lehrin, Lindzey, dan Spuhier berpendapat bahwa taraf inteligensi 75-80% merupakan warisan atau faktor keturunan.
2. Faktor lingkungan
Teori lingkungan atau empirisme dipelopori oleh John Locke. Meskipun teorinya masih berada dalam perdebatan, namun teorinya yang disebut dengan teori tabularasa ini belum dapat sepenuhnya dipatahkan. Teori ini menyatakan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan suci seperti kertas putih yang masih bersih belum ada tulisan atau noda sedikitpun ini. Menurut John Locke, perkembangan manusia sangatlah ditentukan oleh lingkungannya. Berdasarkan pendapat Locke, taraf inteligensi sangatlah ditentukan oleh pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya dari lingkungan hidupnya.
Lebih lanjut, Ki Hajar Dewantoro melengkapi pendapat ini dengan menyebutkan bahwa seseorang dibentuk oleh perpaduan dari dasar dan ajar. Artinya bahwa seorang anak yang sudah memiliki dasar potensi bawaaan akan menjadi siapa dan seperti apakah dia juga dipengaruhi oleh faktor ekternal berupa ajar atau penagajaran yang diperolehnya dari lingkungan.
3. Faktor kematangan
Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan matang jika telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Kematangan berhubungan erat dengan usia kronologis (usia kalender).
4. Faktor pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang memengaruhi perkembangan inteligensi. Pembentukan dapat dibedakan menjadi pembentukan sengaja (sekolah formal) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar). Sehingga manusia berbuat inteligen karena untuk mempertahankan hidup ataupun dalam bentuk poenyesuaian diri.
5. Faktor minat dan bakat
Minat mengarahkan oerbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan utnuk berbuat lebih giat dan lebih baik lagi. Adapun bakat diartikan sebagai kemampuan bawaan, sebagai potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih agar dapat terwujud. Bakat seseorang akan memengaruhi tingkat kecerdasaannya. Artinya seseorang akan memiliki bakat tertentu, maka akan semakin mudah dana cepat memperlajarinya.

6. Faktor kebebasan
Kebebasan yaitu keleluasaan manusia untuk berpikir divergen (menyebar) yang berarti bahwa manusia memilih metode-metode tertentu dalam menyelesaikan masalah-masalah, juga bebas dalam memiilih masalah sesuai kebutuhannya.

E. Proses-proses Kognitif Anak Usia Dini

Piaget seperti yang dikutip oleh Santrock yakin bahwa seorang anak melalui serangkaian tahap pemikiran dari masa bayi hingga masa dewasa. Kemampuan bayi melalui tahap-tahap tersebut berasal dari tekanan biologis untuk menyesuaikan diri (adapt) dengan lingkungan (melalui asimilasi dan akomodasi) dan adanya pengorganisasian struktur berpikir. Tahap-tahap pemikiran ini secara kualitatif berbeda dari setiap individu. Cara anak-anak berpikir pada satu tahap tertentu sangat berbeda dari cara mereka berpikir pada tahap lain.
Anggapan ini dijelaskan lebih terperinci oleh Piaget seperti yang dikutip oleh F.J. Monks,dkk. bahwa setiap organisme hidup dilahirkan dengan dua kecenderungan fundamental, yaitu kecenderungan untuk (a) adaptasi dan kecenderungan untuk (b) berorganisasi.
1. Adaptasi dapat dilukiskan sebagai kecendurungan bawaan setiap organisme untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Kecenderungan adaptasi ini mempunyai dua komponen atau dua proses yang komplementer, yaitu asimilasi dan akomodasi.
a. Asimilasi yaitu kecenderungan organisme untuk mengubah lingkungan guna menyesuaikan dengan dirinya. Contoh: seorang bayi yang memperoleh kebiasaan pola tingkah laku terhadap lingkungannya berupa memegang apapun yang ia jumpai di sekitarnya. Setiap anak berada pada stadium atau tingkatan perkembangan tertentu. Stadium ini sebagian besar menentukan cara anak dalam menginterpretasi suatu tugas verbal yang diberikan padanya. Misal: anak umur 4 tahun dengan anak umur 6 tahun dapat diberikan suatu tugas verbal identik, tetapi harus disadari bahwa mereka hanya akan mengerti tugas tersebut sesuai dengan struktur yang mereka miliki pada tahap atau stadium perkembangan mereka. Anak mengasimilasi tugas tersebut sesuai dengan struktur kognitifnya.
Pada awalnya, seorang bayi akan mencoba berasimilasi dengan menyentuh, meremas, bahkan merobek benda-benda yang dijangkaunya. Selanjtnya, anak akan mengasimilasi objek tersebut dengan memasukkannya ke dalam mulut sebagai ekspresi rasa ingin tahu. Kemudian , anak akan mengasimilasi dengan cara mencium, menatap dengan detail, mencoret-coretnya, dan lain sebagainya. Dari pengalaman berasimilasi itulah anak mempunyai pengetahuuan tentang sesuatu benda. Misalnya, kertas. Anak dapat memiliki pengetahuan tentang kertas engan cara mengenal bahwa kertas akan kucal jika diremas, sobek jika ditarik, hancur jika kena air, dapat ditulisi, diwarnai dan lain sebagainya. Inilah proses asimilasi sebagai sumber pengetahuan pada anak usia dini.
b. Akomodasi yaitu kecenderungan organisme untuk merubah dirinya sendiri guna menyesuaikan diri dengan kelilingnya. Suatu contoh, apabila bayi hendak meraih sesuatu maka bayi tersebut harus menyesuaikan pengamatannya dengan objek tersebut untuk dapat melihat dengan baik sehingga ia mampu meraihnya menggunakan tangan setelah menyesuaikan pola gerakannya sedemikian rupa. Dan pada akhirnya pun ia harus menyesuaikan raihannya dengan bentuk atau ukuran atau juga berat benda yang dirainya itu.
Antara proses asimilasi dan proses akomodasi memiliki hubungan yang komplementer. Dalam setiap tingkah laku anak pasti akan ditemukan proses asimilasi dan akomodasi. Hal ini dapat dilihat salah satunya melalui cara bayi dalam meraih seseuatu.
2. Kecenderungan organisasi.
Hal ini dapat dilukiskan sebagai kecenderungan bawaan setiap organisme untuk mengintegrasi proses-proses sendiri menjadi sistem-sistem yang koheren. Contoh pada bayi, yang pada mulanya mempunyai dua struktur tingkah laku yang terpisah: ia dapat meraih dan ia dapat mengamati sesuatu. Semula anak belum mampu untuk mengintegrasi kedua struktur tingkah laku ini. Baru kemudian kedua struktur ini dikoordinasi menjadi satu struktur dalam tingkatan yang lebih tinggi, yaitu dalam apa yang disebut koordinasi mata, tangan atau koordinasi visio-motorik.
Hubungan antara adaptasi dan organisasi juga bersifat komplementer. Bila seorang anak melakukan organisasi aktivitasnya, maka ia akan mengasimilasi kejadian baru pada struktur yang sudah ada dan mengakomodasi struktur yang sudah ada pada situasi baru. Piaget menamakan kedua proses tadi sebagai faktor biologis.
Ekuilibrium (keseimbangan) juga menduduki tempat yang penting dalam teori Piaget. Prinsip ekuilibrium yang bersifat biologis ini menjaga agar perkembangan tidak menjadi hal yang tak karuan, melainkan suatu proses yang teratur. Proses asimilasi dan akomodasi yang komplementer menyebabkan seseorang selalu berusaha mencapai keadaan yang seimbang lagi.
Hal ini hanya dapat dilakukan dengan menggabungkan asimilasi dan akomodasi ebagimana disebutkan di atas. Sebagai contoh, anak –anak pada usia 5- 6 tahun telah terampil mengendarai sepeda roda tiga. Dalam kemampuannya itu , anak telah mampu merangkai beberapa ide, sperti kaki mengayuh pedal, tangan memegang setir, mata menatap ke depan, dan seringkali keala anak tersebut menoleh ke kanan dank e kiri untuk menjaga keselamatan. Inilah yang disebut dengan organisasi dalam bahasa tendensi biologis.
F. Tahap Perkembangan Kognitif Anak Usia Dini
Tahap perkembangan kognitif anak usia dini berarti tahap perkembangan kognitif anak dari sejak lahir sampai pada usia ±8 tahun. Piaget membaginya dalam tahap sensori motorik untuk usia ±0 – 24 bulan dan tahap pra opersional ±18 – ± 7 tahun. Untuk perkembangan kognitif pada tahapan sensori motorik, dapat lebih mudah dipelajari melalui tabel yang telah disarikan dari buku Santrock berikut:
Perkembangan Kognitif Permanensi Objek
Tahap 1 (± 0 – 1 bulan)
Skema refleks bawaan (berwujud tingkah laku refleks)

Tahap 2 (±1 – 4 bulan)
Modifikasi skema stadium 1 atas dasar pengaruh pengalaman, mengakibatkan koordinasi antara lain koordinasi mata tangan (reaksi sirkuler yang primer) tertuju pada badan sendiri, misal mulai bermain 3 bulan: menolong meraban, bermain-main dengan jari kakinya sendiri Tahap 1 dan 2 (± 0-4 bulan)
Bayi mengikuti objek yang bergerak dengan mata sampai objek menghilang, perhatian segera hilang dan memandang sebentar pada tempat objek menghilang
Tahap 3 (± 4-8 bulan)
Perkembangan skema yang menyebabkan akibat yang menarik dalam lingkungan orientasi ekstern, (reaksi sirkuler yang sekunder ditujukan pada lingkungan, misalnya membuka pintu atau tas)
– Reaksi sirkuler yang sekunder (Piaget)
– Functionlust(K. Buhler)
– Motivasi efektif = bergaul secara efektif dengan lingkungan (White)
Tiga macam nama untuk satu gejala yang sama, tingkah laku satu mengundang tingkah laku berikutnya (sirkuler) Tahap 3 (± 4-8 bulan)
Mengikutin objek dengan mata, fiksasi bila gerakan objek berhenti, tahu sebelumnya posisi yang akan datang berdasarkan proses gerakan. Mengikuti secara visual sampai melampaui tempat menghilangnya objek Imisal, membungkuk dari kursi untuk melihat objek yang jatuh). Dapat mengenal objek yang hanya nampak sebagian. Tidak mencoba memegang bila menghilang meskipn mampu. Tidak heran bila objek menghilang.
Tahap 4 (± 8-12 bulan)
Koordinasi respons stadium 3 mengakibatkan tingkah laku intensional, nampak seperti “inteligen” (koordinasi reaksi-reaksi sekunder) Tahap 4 (± 8-12 bulan)
Mencoba memegang dengan tangan objek yang menghilang dari pandangan mata.nmencari terus di tempat menemukan sebelumnya meskipun melihat kalau dipindah. Kebiasaan motorik: “Carilah di tempat yang sebelumnya kau menemukannya” penting di sini pola aksi sensoris.
Tahap 5 (± 12-18 bulan)
Trial and error yang aktif, dorongan eksplorasi tertuju pada penemuan skema alat-tujuan (reaksi sirkuler yang tersier mulai sekarang bukan secara kebetulan melainkan atas dasar dorongan untuk mengadakan eksplorasi dan manipulasi dengan objek-objek baru) Tahap 5 (± 12-18 bulan)
Mencari objek di tempat yang untuk terakhir dilihatnya menghilang, misal di tangan, bukan di bawah lap atau layar tempat objek ditinggalkan.
Tahap 6 (± 18-24 bulan)
Penemuan skema alat tujuan yang baru melalui kombinasi mental internal dari skema-skema yang direpresentasi secara simbolis. Perpindahan dari fungsi sensori motoris ke fungsi simbolis kognitif (permulaan berpikir) Tahap (± 18-24 bulan)
Anak menggunakan kecakapan simbolis yang baru berkembang untuk membayangkan kemungkinan berbagai perpindahan yang tidak nampak daripada objek yang tersembunyi, tidak khusus terikat pada perpindahan yang nampak.

Piaget seperti dalam kutipan Siti Aisyah telah mengidentifikasi 4 periode utama dalam perkembangan kognitif, yaitu periode sensori motor (lahir s/d 2 tahun) periode praoperasional (2 s/d 7 tahun), periode operasi konkret (7 s/d 11 tahun) dan periode operasi formal (11 tahun ketas).
Dalam makalah ini hanya akan dibahas periode sensori motor dan periode praoperasional, yaitu periode-periode dimana anak mencapai usia 7 tahun. Berikut adalah table kedua periode tersebut beserta penjelasan ringkas tentang ciri-ciri perilaku yang muncul dalam setiap tahap yang terdapat dalam kedua periode tersebut.
a. Tahap Sensori Motor (Lahir s/d 2 Tahun)
Tahap sensori motor, yaitu sejak lahir hingga sekitar dua tahun dari masa bayi adalah suatu periode, dapat mengkoordinasikan input sensor dan kemampuan gerakannya untuk membentuk skema perilaku yang memungkinkannya bergerak dalam lingkungan dan megetahui lingkungannya. Selama dua tahun pertama, bayi berkembang dari mahluk yang bergerak dengan reflex dan dengan pengetahuan yang sangat terbatas kepada pemecahan masalah (problem solver) yang telah belajar banyak tentang dirinya, teman dekatnya, dan benda serta dalam kejadian dalam dunianya sehari-hari.
1. Perkembangan keterampilan pemecahan masalah
Piaget member cirri bulan pertama hidup bayi sebagai tahap kegiatan reflex yaitu suatu periode dimana perilaku bayi terbatas pada latihan reflex yang dialami, menambahkan obyek baru kedalam skema refleksif ini (sebagai contoh, menghisap selimut dan mainan seperti menghisap putting susu). Dan menghantarkan reflex kepada benda nyata (bayi mulai mengenggam dan menghisap benda nyata).
2. Perkembangan imitasi (peniruan)
Piaget menemukan adanya adaptasi peniruan yang signifikan bermakna, dan dia sangat tertarik pada perkembangan adaptasi peniruan tersebut. Pengamatannya mengarahkan pada keyakinan bahwa bayi tidak mampu meniru respons yang asli yang ditunjukkan oleh contoh (orang dewasa) hingga usia 8-12 bulan. Akan tetapi skema peniruan bayi ini tidak akurat, seperti yang dicontohkan. Ketika kita membengkokkan dan meluruskan jari kita, bayi mungkin akan meniru dengan membuka dan menutup seluruh tangannya. Jadi, peniruan yang akurat terhadap kejadian respons yang paling sederhana, mungkin akan memerlukan latihan berhari-hari atau mungkin berminggu-minggu, dan ratusan contoh dibutuhkan sebelum bayi usia 8-12 bulan dapat memahami dan menikmati permainan sensori moto, seperti “cilukba”.

3. Perkembangan ketetapan benda
Salah satu penemuan yang perlu dicatat dalam periode sensori motor ini adalah perkembangan ketetapan benda, yaitu suatu pemikiran bahwa benda tetap ada ketika benda tersebut tidak lagi dapat terlihat atau terdeteksi oleh indra lainnya. Jika kita memindahkan sebuah jam dan menutupnya dengan buku, kita tetap menyadari bahwa jam tersebut masih tetap ada. Tetapi bayi sangat tergantung pada panca indra dan kemampuan motorik untuk memahami suatu benda maka ia berpikir bahwa suatu benda ada apabila dapat di indrai.
4. Evaluasi tahap sensori motor dari teori Piaget
Pencapaian intelektual anak selama periode sensori motor benar-benar terlihat. Dalam waktu 2 tahun yang singkat, anak telah berkembang dari refleksif dan mahluk yang tidak bergerak kepada pemikir yang terencana yang dapat bergerak sendiri., memecahkan masalah dikepalanya dan bahkan mengkomunikasikan beberapa pemikirannya kepada temannya. “penundaan peniruan” muncul lebih awal dari yang telah dikatakan Piaget, dan bayi yang masi sangat mudah mengetahui lebih banyak tentang benda dari pada yang diperkirakan orang dewasa padanya.
b. Tahap praoperasional (2-7 tahun)
Ketika anak memasuki tahap praoperasional, kita melihat peningkatan yang drastis dalam penggunaan mental simbolnya (kata-kata dan imajinasi) untuk menggambarkan benda, situasi dan kejadian. Pada dasarnya, suatu symbol adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Misalnya kata anjing mewakili binatang berkaki empat, ukuran sedang dan bersifat lokal.
Contoh yang paling jelas dari penggunaan symbol bagi Piaget adalah bahasa. Contoh lain penggunaan symbol pada anak kecil adalah penundaan, peniruan, menggambar, perbandingan mental, dan permainan simbolik (misalnya berpura-pura menggunakan sepatu sebagai telepon atau memberi makan anjing dengan bubur khayalan).
Masih mengutip piaget, menurutnya, perkembangan kognitif pada anak-anak bermula dari perhatian mereka terhadap lingkungan sekitarnya. Pada usia 4 (empat) bulan, misalnya , anak mampu mengembangkan apa yang disebut Piaget dengan istilah “Intentionality”. Intentionnality adalah kemampuan anak dalam melakukan sesuatu agar apa yang diinginkannya terpenuhi. Istilah ini juga sering disebut dengan tindakan agar rasa ingin tahunya terjawab. Sekedar contoh, bayi “belajar” bahwa jika dirinya menangis, maka ibu atau pengasuhnya akan datang. Oleh karena itu ketika bayi belum mampu berkata-kata sebagaimana orang dewasa, ia hanya akan selalu menangis agara apa yang diinginkannya dapat tercapai. Bahkan anak yang agak dewasapun, masih sering menangis jika keinginannya tidak dipenuhi. Itulah,”belajarnya”bayi,menangis.
Dalam perkembangan selanjutnya, anak–anak akan mencari apa yang dinginkannya secara mandiri . misalnya nak ingin bermain boneka, maka ia akan mencari boneka yang pernah dilihatnya. Ia datang mencari ke tempat dimana ia melihat boneka terakhir kalinya. Bahkan, pada tahap ini anak mampu menyingkirkan barang-barang yang sekiranya menghalangi boneka dengan dirinya. Dalam situasi tertentu, mungkin ia telah jengkel karena tidak menemukan boneka yang dinginkannya. Ia protes dengan cara menangis. tetapi hal ini dilaukann ketika ada orang dewasa di dekatnya. Tangisan itu dimaksudkan agar orang di dekatnya mau membantu mencari boneka yang sedang dicarinya tersebut.
Kemudian, sekitar usia 18 bulan, penalaran anak-anak sudah mulai berkembang lebih tinggi . ia sudah mampu mencari benda-benda yang sengaja disembunyikan di berbagai tempat tersembunyi. Inilah sebabnya mengapa anak-anak pada tahap ini sangat senang jika diajak bermain petak umpat. Mereka seolah-olah merasa tertantang dengan melakukan permainan tersebut. Di samping itu, anak-anak pada tahap ini juga telah mampu mengingat perilaku orang-orang di sekitarnya, mengingat kejadian di masa lalu, kemudian menirukannya.
Setelah itu pada usia antara 3 sampai dengan 4 tahun, anak-anak sudah mulai mampu melakukan manipulasi lingkungan dan mencoba hal-hal baru. Bahkan, mereka telah mampu menggeneralisasikan satu situasi kes ituasi yang lain. Dengan tekhnik tertentu, anak-anak mampu membawa dirinya untuk menguasai berbagai rintangan di lingkungan yang baru saja mereka temukan tersebut.
Pada tahap perkembangan kognitif yang lebih tinggi, anak-anak mulai menaruh perhatian pada simbol-simbol di sekitarnya. Dalam waktu yang tidak lama, mereka akan mengetahui bahwa berbagai simbol tersebut mempunyai arti dan makna tersendiri. Pemahaman terhadap berbagai simbol tersebut mempunyai arti dan makna tersendiri. Pemahaman terhadap berbagai simbol tersebut secara tidak langsung meransang anak untuk menaruh perhatian pada kertas yang terdapat gambar menarik dan tulisan di sampingnya. Mulai dari sisni, anak-anak telah tertarik untuk Belajar membaca, menulis dan berhitung. Tahap ini biasanya dilalui anak ketika usianya telah mencapai 5,5 hingga 6 tahun.
Selain Piaget, teori dasar kognitif juga dirumuskan oleh seorang ahli perkembangan dari Rusia yang dikenal dengan nama Lev Vygotsky. Dia seperti yang diutip oleh Siti Aisyah menekankan bahwa (1) perkembangan kognitif muncul dalam konteks budaya sosial yang mempengaruhi bentuk yang diambilnya, dan (2) kemampuan kognitif anak yang paling penting akan berkembang dari interaksi sosial dengan orang tua, guru, dan orang-orang lain yang lebih kompeten.

1. Peranan Budaya dalam Perkembangan Intelektual
Vygotsky mengatakan bahwa bayi dilahirakn dengan sedikir fungsi mental awal yaitu perhatian, sensasi, persepsi, dan ingatan yang akhirnya diubah oleh budaya ke dalam proses mental yang lebih baru dan rumit yang ia sebut fungsi mental yang lebih tinggi. Kemampuan awal anak mengingat dibatasi oleh keterbatasan biologis, yakni terbatas pada imajinasi dan kesan yang dapat dihasilkan. Akan tetapi, masing-masing budaya menyediakan perangkat kepada anak-anak untuk beradaptasi secara intelektual yang memungkinkan mereka menggunakan fungsi-fungsi dasar mental secara lebih adaptif (lebih dapat menyesuaikan diri).
2. Keaslian Sosial dari Kompetensi Kognitif Awal
Vygotsky setuju dengan pendapat Piaget bahwa anak kecil adalah penjelajah yang selalu ingin tahu, yang scara aktif terlibat dalam belajar dan menemukan prinsip-prinsip baru. Akan tetapi dia berpendapat bahwa penemuan yang dihasilkan karena inisiatif sendiri, seperti yang dikemukakan Piaget, hanya sedikit berkontribusi (menyumbang) pada perkembangan kognitif anak. Ia lebih memilih pentingnya kontribusi sosial pada perkembangan kognitif.
3. Zone of Proximal Development (ZPD)
ZPD adalah istilah Vygotsky untuk serangkaian tugas yang terlalu rumit untuk dikuasai sendiri, tetapi dapat dikuasai dengan panduan dan dorongan dari orang yang lebih ahli. Zona of Proximal Development merupakan perbedaan antara apa yang dapat dicapai pembelajar secara mandiri dan apa yang dapat dicapainya dengan panduan dan dukungan atau dorongan dari orang yang lebih ahli. Contoh seorang anak yang sedang berusaha menyelesaikan puzzle dan dilakukan dengan baik dengan bantuan ayahnya daripada tanpa bantuan. Dan yang lebih penting lagi dia akan meresapi teknik penyelesaian masalah tersebut berdasarkan pengalaman yang ia lakukan dalam berkolaborasi bersama ayahnya untuk kemudian dia dapat menggunakannya sendiri.
Salah satu bentuk dari kolaborasi sosial yang mendorong pertumbuhan kognitif adalah scaffolding (pijakan), yaitu kecenderugnan dari orang yang lebih ahli untuk secara hati-hati menyesuaikan bantuan yang diberikannya kepada situasi pembelajar yang baru sehingga pembelajar mendapat keuntungan dari bantuan tersebut dan meningkatkan pemahamannya tentang suatu masalah. Scaffolding muncul bukan hanya dalam pendidikan formal, tetapi setiap saat dapat terjadi jika orang yang lebh ahli menyesuaikan bantuannya untuk memandu seseorang kepada tingkat kemampuan yang hamper sama dengannya. Perilaku ayah Annie, seperti pada contoh terdahulu menggambarkan bukan hanya ZPD, tetapi juga scaffolding.
4. Masa Belajar dalam Berpikir dan Partisipasi Terbimbing
Pada beberapa budaya dikatakan Rogoff seperti yang ditulis oleh Siti Aisyah , bahwa anak tidak belajar dengan pergi ke sekolah bersama anak lainnya, juga tidak belajar dari orang tuanya yang mengajarkan secara formal pelajaran tertentu seperti menenun dan berburu. Tetapi ia belajar melalui partisipasi yang terbimbing yaitu secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan yang relevan dengan budayanya bersama orang yang lebih ahli yang menyediakan bantuan dan dorongan yang diperlukan.
Partisipasi terbimbing adalah suatu masa belajar dalam berpikir yang bersifat informal, di mana kognisi anak dibentuk pada saat ia ikut serta bersama orang dewasa dan teman yang ahli lainnya dalam tugas yang relevan dengan budayanya setiap hari, seperti menyiapkan makanan, mencari jejak sasaran buruan, mencuci baju, bercocok tanam atau hanya bercakap-cakap tentang dunia di sekelilingnya. Barbara Rogoff meyakini bahwa pertumbuhan kognitif dibentuk sebanyak-banyaknya melalui transaksi informal orang dewasa dengan anak dari pada pengajaran yang lebih formal atau pengalaman belajar dalam pendidikan.

Sementara itu, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikannya juga telah menetapkan kebijakan berkaitan dengan tahapan perkembangan anak yang dapat digunakan sebagai acuan dalam mengembangkan kurikulum. Kurikulum yang disusun untuk memberikan stimulasi pada Anak Usia Dini sesuai dengan capaian perkembangannya. Berikut ini tabel standar tingkat pencapaian perkembangan kognitif pada Anak Usia Dini sesuai Peraturan Menteri nomor 58 tahun 2009 tentang standar Pendidikan Anak Usia Dini:

Tabel Capaian Perkembangan Usia 0 – 12 bulan
Lingkup Perkembangan
Kognitif Tingkat Pencapaian Perkembangan
< 3
bulan 3 – < 6
bulan 6 – <9
bulan 9 – <12 bulan
A. Mengenali apa yang diinginkan Membedakan apa yang diinginkan (ASI atau DOT) Memperhatikan permainan yang diinginkan Mengamati benda yang bergerak Mulai memahami perintah sederhana
B. Menunjukkan reaksi atas rangsangan Berhenti menangis saat keiingannya terpenuhi (setelah digendong atau diberi susu) Mengulurkan kedua tangan untuk digendong 1. Berpaling ke arah sumber suara
2. Mengamati benda yang dipegang kemudian dijatuhkan 1. Menunjukkan reaksi saat namanya dipanggil
2. Mencoba mencari benda yang disembunyikan
3. Mencoba membuka/melepas benda yang tertutup


Tabel Capaian Perkembangan Usia 12 – 24 bulan
Lingkup Perkembangan
Kognitif Tingkat Pencapaian Perkembangan
12 – < 18 bulan 18 – < 24 bulan
A. Mengenali Pengetahuan Umum 1. Menyebut beberapa nama benda
2. Menanyakan nama benda yang belum dikenal
3. Mengenal beberapa warna primer (merah, kuning, biru)
4. Menyebut nama sendiri dan orang-orang yang dikenal 1. Mempergunakan alat permainan dengan semaunya seperti memukul-mukul balok
2. Mulai memahami gambar wajah orang
3. Mulai memahami prinsip milik orang lain (milik saya, milik kamu)
B. Mengenal konsep ukuran dan bilangan Membedakan ukuran benda (besar-kecil) Membilang sampai lima

Tabel Capaian Perkembangan Usia 2 – 4 tahun
Lingkup Perkembangan
Kognitif Tingkat Pencapaian Perkembangan
2 – 3 tahun 3 – 4 tahun
A. Mengenali Pengetahuan Umum 1. Menyebut bagian-bagian suatu gambar seperti gambar wajah orang, mobil, binatang, dsb.
2. Mengenal bagian-bagian tubuh (lima bagian) 1. Menemukan atau mengenali bagian yang hilang dari suatu pola gambar seperti wajah orang, mobil, binatang, dsb.
2. Menyebutkan berbagai nama makanan dan rasanya (garam, gula, dan cabai)
3. Memahami perbedaan antara dua hal dari jenis yang sama seperti membedakan antara buah rambutan dan pisang, perbedaan antara ayam dan kucing
B. Mengenal konsep ukuran, bentuk, dan pola 1. Mengenal konsep ukuran (besar-kecil, panjang-pendek)
2. Mengenal tiga macam bentuk ( , , )
3. Mulai mengenal pola 1. Menempatkan benda dalam urutan ukuran (paling kecil-paling besar).
2. Mulai mengikuti pola tepuk tangan.
3. Mengenal konsep banyak dan sedikit.


Tabel Capaian Perkembangan Usia 4 – 6 tahun
Lingkup Perkembangan
Kognitif Tingkat Pencapaian Perkembangan
4 – 5 tahun 5- 6 tahun
A. Pengetahuan umum dan sains 1. Mengenal benda berdasarkan fungsi (pisau untuk memotong, pensil untuk menulis)
2. Menggunakan benda-benda sebagai permainan simbolik (kursi sebagai mobil)
3. Mengenal gejala sebab-akibat yang terkait dengan dirinya
4. Mengenal konsep sederhana dalam kehidupan sehari-hari (gerimis, hujan, gelap, terang, temaram, dsb)
3. Mengkreasikan sesuatu sesuai dengan idenya sendiri 1. Mengklasifikasikan benda berdasarkan fungsi
2. Menunjukkan aktivitas yang bersifat eksploratif dan menyelidik (seperti: apa yang terjadi ketika air ditumpahkan)
3. Menyusun perencanaan kegiatan apa yang akan dilakukan
4. Mengenal sebab-akibat tentang lingkungannya(angin bertiup menyebabkan daun bergerak, air dapat menyebabkan sesuatu menjadi basah)
5. Menunjukkan inisiatif dalam memilih tema permainan (seperti: ayo kita bermain pura-pura seperti burung)
6. Memecahkan masalh sederhana dalam kehidupan sehari-hari
B. Konsep bentuk, dan pola 1. Mengklasifikasikan bentuk atau warna atau ukuran
2. Mengklasifikasikan benda ke dalam kelompok yang sama atau kelompok yang sejenis atau kelompok yang berpasangan dengan 2 variasi
3. Mengenal pola AB-AB dan ABC-ABC
4. Mengurutkan benda berdasarkan 5 seriasi ukuran atau warna 1. Mengenal perbedaan ukuran: “lebih dari”; “kurang dari”; “paling/ter”
2. Mengklasifikasikan benda berdasarkan warna, bentuk, dan ukuran (3 variasi)
3. Mengklasifikasikan benda yang lebih banyak kedalam kelompok yang sama atau kelompok yang sejenis, atau kelompok berpasangan yang lebih dari 2 variasi
4. Mengenal pola ABCD-ABCD
5. Mengurutkan benda berdasarkan ukuran dari paling kecil ke paling besar atau sebaliknya
C. Konsep bilangan, lambang bilangan dan huruf 1. Mengetahui konsep banyak dan sedikit
2. Membilang banyak benda satu sampai sepuluh
3. Mengenal konsep bilangan
4. Mengenal lambang bilangan
5. Mengenal lambang huruf 1. Menyebutkan lambing bilangan 1-10
2. Mencocokkan bilangan dengan lambing bilangan
3. Mengenal berbagai macam lambing huruf vocal dan konsonan

G. Klasifikasi Pengembangan Kognitif Anak Usia Dini
Dengan pengetahuan pengembangna kognitif akan lebih mudah bagi orang dewasa lainnya dalam menstimulasi kemampuan kognitif anak, sehingga akan tercapau optimalisasi potensial pada masing-masing anak.
Adapun tujuan pengembangan kognitif diarahkan pada pengembangan kemampuan auditory, visual, taktik, kinestetik, aritmetika, geometri, dan sains permulaan. Uraian masing-masing bidang pengembangan ini sebagai berikut :
1. Pengembangan auditory
Kemampuan ini berhubungan dengan bunyi atau indra pendengaran anak, seperti : (a) mendengarkan atau menirukan bunyi yang didengar sehari-hari, (b) mendengarkan nyanyian atau syair dengan baik, (c) mengikuti perintah lisan sederhana, (d) mendengarkan cerita dengan baik, (e) mengungkapkan kembali cerita sederhana, (f) menebak lagu atau apresiasi musik, (g) mengikuti ritmis dengan bertepuk, (h) menyebutkan nama-nama hari dan bulan, (i) mengetahui asal suara, (j) mengetahui nama benda yang dibunyikan.
2. Pengembangan visual
Kemampuan ini berhubungan dengan penglihatan, pengamatan, perhatian, tanggapan, dan persepsi anak terhadap lingkungan sekitarnya. Adapun kemampuan yang dikembangkan, yaitu: (a) mengenali benda-benda sehari-hari, (b) membandingkan benda-benda dari yang sederhana menuju ke yang lebih kompleks, (c) mengetahui benda dalam ukuran, bentuk, atau dari warnanya, (d) mengetahui adanya benda yang hilang apabila ditunjukkan sebuah yang belum sempurna atau janggal, (e) menjawab pertanyaan tentang sebuah gambar dari seri lainnya, (f) menyusun potongan teka-teki mulai dari yang sederhana sampai pada yang lebih rumit, (g) mengenali namanya sendiri bila tertulis, (h) mengenali huruf dan angka.
3. Pengembangan taktik
Kemampuan ini berhubungn dengan pengembangan tekstur (indera peraba). Adapun kemampuan yang akan dikembangkan yaitu: (a) mengembangkan indera sentuhan, (b) mengembangkan kesadaran akan berbagai tekstur, (c) mengembangkan kosakata untuk mengembangkan berbagai tekstur seperti tebal, tipis, halus-kasar, panas-dingin, dan tekstur kontras lainnya, (d) mengembangkan kosakata untuk menggambarkan berbagai tekstur, (e) bermain di bak pasir, (f) bermain air, (g) dengan plastisin, (h) menebak dengan meraba tubuh teman, meraba dengan kertas amplas, (i) meremas kertas koran, (j) meraup biji-bijian.
4. Pengembangan kinestetik
Kemampuan yang berhubungan dengan kelancaran gerak tangan/keterampilan tangan atau motorik halus yang memengaruhi perkembangan kognitif. Kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan tangan dapat dikembangkan dengan permainan-permainan, yaitu: (a) finger painting dengan tepung kanji, (b) menjiplak huruf-huruf geometri, (c) melukis dengan cat air, (d) mewarnai dengan sederhana, (e) menjahit dengan sederhana, (f) merobek kertas koran, (g) menciptakan bentuk-bentuk dengan balok, (h) mewarnai gambar, (i) membuat gambar sendiri dengan berbagai media, (j) menjiplak bentuk lingkaran, bujur sangkar, segitiga, atau empat persegi panjang, (k) memegang dan menguasai sebatang pensil, (l) menyusun atau menggabungkan potongan gambar atau teka-teki dalam bentuk sederhana, (m) mampu menggunakan gunting dengan baik, (n) mampu menulis.
5. Pengembangan aritmetika
Kemampuan yang diarahkan untuk penguasaan berhitung atau konsep berhitung permulaan. Adapun kemampuan yang akan dikembangkan, yaitu: (a) mengenali atau membilang angka, (b) menyebut urutan bilangan, (c) menghitung benda, (d) mengenali himpunan dengan nilai bilangan berbeda, (e) memberi nilai bilangan pada suatu bilangan himpunan benda, (f) mengerjakan atau menyelesaikan operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian dengan menggunakan konsep dari konkret ke abstrak, (g) menghubungkan konsep bilangan dengan lambang bilangan, (h) menggunakan konsep waktu misalnya hari ini, (i) menyatakan waktu dengan jam, (j) mengurutkan lima hingga sepuluh benda berdasarkan urutan tinggi besar, (k) mengenai penambahan dan pengurangan.
6. Pengembangan geometri
Kemampuan ini berhubungan dengan pengembangan konsep bentuk dan ukuran. Adapun kemampuan yang akan dikembangkan, yaitu: (a) memilih benda menurut warna, bentuk, dan ukurannya, (b) mencocokkan benda menurut warna, bentuk, dan ukurannya, (c) membandingkan benda menurut ukurannya (besar, kecil, panjang, lebar, tinggi, dan rendah), (d) mengukur benda secara sederhana, (e) mengerti dan menggunakan bahasa ukuran, seperti besar-kecil, tinggi-rendah, dan panjang-pendek, (f) menciptakan bentuk dari kepingan geometri, (g) menyebut benda-benda yang ada di kelas sesuai dengan bentuk geometri, (h) mencontoh bentuk-bentuk geometri, (i) menyebut, menunjukkan, dan mengelompokkan segi empat, (j) menyusun menara dari delapan kubus, (k) mengenal ukuran panjang, berat, dan isi, (l) meniru pola dengan empat kubus.

7. Pengembangan sains permulaan
Kemampuan ini berhubungan dengan berbagai percobaan atau demonstrasi sebagai suatu pendekatan secara saintifik atau logis, tetapi tetap dengan mempertimbangkan tahapan berpikir anak. Adapun kemampuan yang akan dikembangkan, yaitu: (a) mengeksplorasi berbagai benda yang ada di sekitarnya, (b) mengadakann berbagai percobaan sederhana, (c) mengomunikasikan apa yang telah diaamti dan diteliti. Contoh kegiatan yang dapat dikembangkan melalui permainan, sebagai berikut: proses merebus atau membakar jagung, membuat jus, warna dicampur, mengenal asal mula sesuatu, balon ditiup lalu dilepas, benda kecil dilihat dengan kaca pembesar, besi berani didekatkan dengan macam-macam benda, biji ditanam, benda-benda dimasukkan ke dalam air, mengenal sebab akibat mengapa sakit gigi, dan mengapa lapar.

H. Strategi Pengembangan Kemampuan Kognitif untuk Anak Usia Dini
Hal yang terpenting adalah cara menigkatkan perkembangan kognitif anak usia dini. Secara sederhana, Suryadi menyebutkan perkembangan kognitif terdiri atas dua bidang: yakni logika-matematika dan sains. Oleh karena itu, cara meningkatkan perkembangan kognitif pada anak usia dini juga berkutat seputar dua bidang pelajaran tersebut, yakni logika-matematika dan sains. Beberapa langkah berikut ini bisa dilakukan untuk meningkatkan perkembangan anak usia dini.
a. Meningkatkan kemampuan berpikir logis
Berfikir logis sangat dibutuhkan anak-anak, karena kemampuan ini dapat mendidik kedisiplinan yang sangat kuat. Logika berperan besar dalam menjadikan anak-anak semakin dewasa dengan keputusan-keputusan matangnya.
b. Menemukan hubungan sebab akibat
Dalam pengertian yang lebih luas, menemukan hukum sebab akibat dapat ditempuh dengan membuat hubungan anatara dua variabel atau lebih. Dari dua hubungan tersebut, dapat diketahui, bahwa akibat dari suatu peristiwa ada sebabnya. Misalnya, penyebab kematian adalah sakit, penyebab rumah terbakar adalah hubungan arus pendek, penyebab mesin mogok adalah kerusakan dan lain sebagainya.
c. Meningkatkan pengertian pada bilangan
Pernahkan anda menemukan orang yang sangat cepat dalam menghitung. Bukan menghitung dengan kalkulator atau komputer, melainkan berhitung secara awangan atau mencongak.jika pernah, maka ketahuilah bahwa orang tersebut mempunyai kepekaan terhadap bilangan sangat tinggi.
Dengan bekal kepekaan terhadap angka dan bilangan inilah anak menjadi lebih mengerti dan cepat dalam memahami hubungan sebab-akibat.
Secara sederhana, berbagai elemen yang dapat meningkatkan perkembangan kognitifanak usia dini dapat dibagi ke dalam dua konsep, yakni logika matematka dan sains.kedua konsep ini dapatdilihat pada skema berikut :

Skema konsep stimulasi pengembangan kognitif melalui logika matematika pada anak usia dini

Skema konsep stimulasi pengembangan kognitif melalui pelajaran sains pada anak usia dini

Skema konsep stimulasi pengembangan kognitif melalui pelajaran logika matematika pada anak usia dini. Skema konsep stimulasi pengembangan koginitif melalui pelajaran sains pada anak usia dini.
Setelah melakukan berbagai bentuk stimulasi yang mencakup minimaldua hal diatas (logika matematika dan sains).diharapkan pengembangan kognitif padaanak usia dini dapat meningkat tajam, sehingga ia mampu mencapai tahapan-tahapan perkembangan kognitif inilah akan menopang kecerdasan anak tersebut.berikut ini tabel capaian perkembangan kognitif pada anak usia dini.
Tabel Capaian Perkembangan Kognitif pada Anak Usia Dini
No Anak Usia Capaian Perkembangan Kognitif
1 Lahir – 1 tahun a. Mengenal benda
b. Mengenal bentuk
2 1-2 tahun a. Mengenal warna
b. Mengenal rasa manis, pahit dan asin
c. Mengenal bilangan 1 dan 2
3 2-3 tahun a. Mampu mengelompokkan benda yang berbentuk sama
b. Mampu membedakan bentuk,lingkaran dan bujur sangkar
c. Mampu membedakan rasa dan warna
d. Mengenal bilangan hingga hitungan 5
4 3- 4 tahun a. Mampu membedakan bentuk dan ukuran (besar-kecil,panjang – pendek, sedikit-banyak,dan lain-lain)
b. Mampu mengurutkan angka satu sampai dngan sepuluh
c. Mampu membeda – bedakan warna lebih banyak (merah- hijau, hitam – putih , biru-ungu, dan lain-lain)
5 4- 5 tahun a. Menunjukkan rasa ingin tahu mengenai cara kerja sesuatu
b. Suka membongkar mainannya untuk sekedar melihat apa yang ada di dalamnya dan kemudian dirangkai lagi
c. Suka mengurut urutkan (membuat urutan)sesuatu dari yang paling kecil, agak besar, hingga yang paling besar, atau sebaliknya
6 5- 6 tahun a. Mampu mengurutkan bilangan 1 hingga (minimal) 50
b. Senang dengan permainan otak atik bilangan
c. Menyukai permainan dengan komputer
d. Dengan mudah meletakkan benda sesuai dengan kelompoknya


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Perkembangan Kognitif Anak Usia Dini adalah sesuatu yang merujuk pada perubahan-perubahan pada proses berpikir sepanjang siklus kehidupan anak sejak konsepsi hingga usia 8 tahun.
2. Urgensi perkembangan kemampuan kognitif anak usia dini yaitu dimana melalui pengembangan kognitif fungsi berpikir dapat digunakan dengan cepat dan tepat untuk mengatasi suatu situasi dan untuk memecahkan suatu masalah
3. Teori dasar perkembangan kognitif. Ada beberapa tokoh yang merumuskan teori kognitif berdasarkan hasil penelitian mereka. Masing-masing yaitu yang terkenal adalah Jean Piaget, Bruner, dan Lev Vygotsky.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif yaitu: (1) Hereditas/ Keturunan, (2) Lingkungan, (3) Kemantangan, (4) Pembentukan, (5) Minat dan Bakat, dan (6) kebebasan
5. Proses Kogntif pada Anak Usia Dini yaitu:
Adaptasi, disini adabtasi mempunyai 2 proses komplementer yaitu asimilasi dan akomodasi. Proses yang berikut yaitu kecenderungan organisasi.
6. Tahap perkembangan kognitif AUD berarti tahap perkembangan kognitif anak dari sejak lahir sampai pada usia ± 8 tahun. Piaget membaginya dalam tahap sensori motorik untuk usia ± 0-24 bln dan tahap pra operasioanal ± 18 – ± 7 tahun.
7. Klasifikasi Pengembangan Kognitif Anak Usia Dini yaitu: (1) Pengembangan Auditory, (2) pengembangan visual, (3) Pengembangan taktik, (4) Pengembangan kinestetik, (5) Pengemabangan Arimatika, (6) Pengembangan Geometri, (7) Pengemabangan Sains Permulaan.
8. Strategi pengembagan kemampuan kognitif anak usia dini yaitu untuk: (1) meningkatkan kemampuan berpikir logis, (2) menemukan hubungan sebab akibat, (3) Meningkatkan pengertian pada bilangan.
B. Saran
Sebagai pendidik dan calon pendidik anak usia dini, bahkan bagi orang tua dan calon orangtua sebaiknya memahami perkembangan kognitif anak usia dini dan bisa mengembangkannya sejak dari masa konsepsi agar dapat memberikan stimulasi yang tepat pada anak sesuai dengan hakikat anak usia dini dan tahap perkembangannya. 

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, Siti. 2012. Perkembangan dan Konsep Dasar Pengembangan Anak Usia Dini. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
Gredler, Margaret E. 2011. Learning and Instruction: Teori dan aplikasi. Jakarta: Kencana Perdana Media Group.
Jahja, Yudrik. 2011. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana.
Monks F.J., Knoers A.M.P., & Hadintono Siti R.. 2006. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Myrnawati, C.H. 2012. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Volume 6 No. 2. Jakarta: Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini Program Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
Santrock, John W.. 2002. Life Span Development-Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga
Santrock, John W. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humanika
Susanto, Ahmad. 2011. Perkembangan Anak Usia Dini . Jakarta: Kencana
Suyadi. 2010. Psikologi Belajar Paud. Yogyakarta
http://www.naeyc.org